Mustahilnya Tuhan

Sebelumnya saya ingin memberitahukan, bahwa artikel ini disadur dari blog lain, yaitu http://anarchoi.gudbug.com . Dikarenakan Artikel ini sangat memikat untuk dibaca, saya menulisaknnya disini, semoga pembaca merasa senang untuk membacanya sebagai pertimbangan, dan jangan ditelan mentah - mentah. Ini adalah sebuah wacana, bukan acuan hidup atau ajakan untuk melakukannya.

BANYAK dari yang dilakukan orang, dilakukan atas nama Tuhan. Orang Irlandia marah kepada satu sama lain atas nama Tuhan. Orang Arab mengutuki dirinya sendiri atas nama Tuhan. Para imam dan ayatollah menindas perempuan atas nama Tuhan. Para paus dan pendeta yang hidup membujang mengacaukan kehidupan seks orang lain atas nama Tuhan. Para shohet Yahudi memotong tenggorokan binatang-binatang hidup atas nama Tuhan. Prestasi agama dalam sejarah masa lalu—perang-perang berdarah, inkuisisi yang penuh penyiksaan, para penakluk yang melakukan pembunuhan massal, para misionaris yang menghancurkan kebudayaan, perlawanan hingga detik terakhir yang diperkuat secara hukum terhadap setiap keping baru kebenaran ilmiah—bahkan lebih mengesankan.


Dan apa manfaat dari itu semua? Saya yakin bahwa kini menjadi semakin jelas, jawabannya: tidak ada samasekali. Tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa semacam apapun dari Tuhan itu eksis, dan justru ada alasan yang sangat kuat untuk meyakini bahwa Tuhan-Tuhan itu tidak eksis, dan tak pernah eksis. Segala macam kepercayaan tentang Tuhan itu merupakan penyia-nyiaan waktu yang sangat besar, bahkan penyia-nyiaan hidup. Kepercayaan itu hanya akan menjadi lelucon dengan proporsi kosmis, kalau bukan malah sangat tragis.

Mengapa orang percaya Tuhan? Bagi kebanyakan orang, jawabannya tetap adalah suatu versi kuno dari Argumen berdasarkan Bentuk-Rancang. Kita melihat di sekitar kita adanya keindahan dan seluk-beluk dunia — adanya sayap burung layang-layang yang aerodinamis, adanya keindahan bunga-bunga dan kupu-kupu yang menyuburkannya, lewat sebuah mikroskop kita melihat begitu padatnya kehidupan dalam setiap tetes air kolam, lewat sebuah teleskop kita melihat pucuk sebuah pohon redwood raksasa. Kita berefleksi pada kompleksitas elektronik dan kesempurnaan optik dari mata kita sendiri yang melakukan aktivitas melihat. Jika kita punya imajinasi apapun, maka hal-hal ini mendorong kita pada suatu perasaan terpesona dan keta’ziman. Terlebih lagi, kita tidak bisa mengelak dari fakta adanya kemiripan yang nyata pada organ-organ hidup, hingga kita harus mengakui adanya bentuk-rancang yang direncanakan dengan sangat cermat oleh perekayasa manusia. Argumen ini paling masyhur diungkapkan dalam analogi tentang pembuat arloji oleh pendeta abad ke delapanbelas, William Paley. Kendati anda tidak tahu apa itu arloji, namun sifat dari gigi-gigi roda dan pegas-pegasnya yang jelas dirancang—dan cara bagaimana elemen-elemen itu ditautkan—untuk satu tujuan tertentu akan memaksa anda untuk menyimpulkan bahwa “arloji itu pasti ada pembuatnya: bahwa pastilah pernah ada pada suatu waktu, dan di tempat tertentu ataupun kondisi lainnya, satu pencipta dari segala pencipta, yang membentuknya untuk tujuan tertentu, hal mana kita benar-benar mendapatkan sesuatu untuk menjawab pertanyaan siapa yang mengerti konstruksinya dan merancang kegunaannya.” Jika ini benar berlaku untuk sebuah arloji yang sederhana, bukankah ia makin benar berlaku untuk mata, telinga, ginjal, sendi siku, otak? Struktur-struktur yang indah, rumit, sangat berlika-liku, dan jelas-jelas dibuat untuk tujuan tertentu ini pastilah memiliki perancangnya sendiri, pembuat arlojinya sendiri — Tuhan.

Begitulah argumen Paley; dan ini adalah sebuah argumen yang mana hampir semua orang yang berpikir dan sensitif menemuinya pada suatu saat tertentu dari masa kanak-kanak mereka. Di sepanjang sebagian besar sejarah, argumen Paley ini pastilah dianggap sangat meyakinkan, dianggap oleh diri sendiri sebagai terbukti benar. Namun demikian, sebagai hasil dari salah satu revolusi intelektual yang paling menakjubkan dalam sejarah, kini kita tahu bahwa hal itu salah, atau setidaknya berlebihan. Kini kita mengetahui bahwa tatanan dan tujuan nyata dari dunia hidup telah muncul melalui sebuah proses yang samasekali berbeda, sebuah proses yang berlangsung tanpa perlu adanya perancang macam apapun, dan sebuah proses yang merupakan konsekuensi dari hukum-hukum fisika yang pada dasarnya sangatlah sederhana. Ini adalah proses evolusi dengan seleksi alam yang telah diungkap oleh Charles Darwin, dan secara terpisah juga oleh Alfred Russel Wallace.

Apa yang sama dimiliki oleh semua benda yang nampak seolah pasti memiliki satu perancang itu? Jawabannya adalah kemustahilan statistik. Jika kita mendapati sebuah batu koral transparan yang digerus oleh air laut hingga menjadi sebentuk lensa kasar, kita tidak akan menyimpulkan bahwa ia pasti telah dirancang oleh seorang ahli optik: hukum-hukum fisika yang tak mendapat intervensi apapun mampu mencapai hasil sedemikian itu; bukanlah terlalu mustahil untuk mendapatinya telah “begitu saja terjadi”. Tetapi, kalau kita menemukan sebuah lensa gabungan yang terperinci, yang telah teratur sangat teliti untuk mencegah terjadinya penyimpangan bentuk lingkaran dan kromatis, telah dilapisi untuk mencegah kesilauan, dan ada tulisan “Carl Zeiss” yang dibubuhkan di tepi lingkarannya, maka kita tahu bahwa benda itu tak mungkin begitu saja terwujud secara kebetulan. Jika anda mengambil semua atom dari sebuah lensa gabungan seperti itu, di bawah pengaruh gaya aksi-reaksi hukum-hukum fisika alam yang biasa, maka secara teoritis adalah mungkin bahwa, dengan keberuntungan belaka, atom-atom tersebut akan begitu saja tiba dalam pola lensa gabungan tipe Zeiss, bahkan bisa saja atom-atom tersebut membentuk lingkaran sedemikian rupa sehingga nama Carl Zeiss pun tertorehkan. Akan tetapi, jumlah cara-cara lain yang dengan itu atom-atom tersebut bisa—dengan peluang yang setara—tersusun adalah begitu banyak, sangat luas, tak terhitung banyaknya hingga kita bisa samasekali mengabaikan hipotesis peluang. Peluang adalah di luar pembahasan sebagai sebuah penjelasan.

Ngomong-ngomong, ini bukanlah argumen yang tak berujung-pangkal. Ini barangkali nampak tak berujung-pangkal karena, bisa dikatakan, susunan partikular apapun dari atom-atom adalah—jika ditinjau ke belakang—sangat mustahil. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ketika sebuah bola mendarat di atas sehelai rumput tertentu di lapangan golf, maka adalah bodoh bila kita menyatakan: “Dari jutaan helai rumput di atas mana bola itu bisa jatuh, sebenarnya bola itu memang akan jatuh ke atas rumput yang satu ini. Luarbiasa mustahil!” Sesat-fikir-nya di sini, tentu saja ialah, bahwa bola itu (dikatakan) harus mendarat di suatu tempat. Kita hanya bisa takjub pada kejadian yang seharusnya mustahil terjadi, jika kita terlebih dahulu telah mengkhususkannya: sebagai contoh, jika seseorang yang matanya ditutup rapat berjalan memutari tee , kemudian memukul bola itu secara sembarang dan mampu mencapai hole in one , itu baru benar-benar menakjubkan, karena sasaran yang dituju bola telah dikhususkan sebelumnya.

Dari trilyunan cara berbeda untuk menyusun atom-atom dari sebuah teleskop, hanya suatu minoritas yang benar-benar akan berfungsi dalam suatu cara yang berguna. Hanya suatu minoritas kecil yang akan mengukir kata Carl Zeiss di atas lensanya, atau kata-kata apapun yang bisa dikenali dari bahasa manusia manapun. Hal yang sama juga berlaku untuk bagian-bagian dari sebuah arloji: dari milyaran cara yang mungkin untuk menyusun elemen-elemen itu menjadi satu, hanya suatu minoritas kecil yang akan menunjukkan waktu atau melakukan apapun yang berguna. Dan tentu saja hal yang sama berlaku, secara a fortiori, untuk bagian-bagian sebuah badan yang hidup. Dari trilyunan cara untuk menyusun bagian-bagian dari sebuah badan, hanya minoritas sangat kecil yang akan hidup, mencari makanan dan ber-reproduksi. Benar bahwa memang ada banyak cara berbeda untuk hidup—setidaknya ada sepuluh juta cara berbeda bila kita menghitung jumlah spesies tersendiri yang hidup sekarang ini—tetapi, betapapun banyaknya cara yang mungkin untuk hidup, yang pasti ialah bahwa ada jauh lebih banyak cara untuk mati!

Kita bisa dengan aman menyimpulkan bahwa benda-benda hidup adalah milyaran kali terlalu rumit—secara statistik terlalu mustahil—untuk muncul ke keberadaan secara kebetulan belaka. Lantas, bagaimana benda-benda hidup itu muncul ke keberadaan? Jawabannya ialah, bahwa peluang memang masuk ke dalam cerita, tetapi bukan satu babak peluang yang tunggal, monolitik. Bukan itu, melainkan keseluruhan rangkaian langkah peluang yang kecil, masing-masingnya cukup kecil untuk menjadi produk yang bisa dipercaya dari pendahulunya, yang terjadi satu per satu secara berurutan. Langkah-langkah peluang yang kecil ini disebabkan oleh mutasi-mutasi genetik, perubahan-perubahan acak—sungguh merupakan kesalahan-kesalahan—dalam materi genetik. Hal-hal tersebut memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur jasmaniah yang kini ada. Sebagian besar dari perubahan-perubahan ini bersifat merugikan dan menggiring pada kematian. Suatu minoritas di antaranya berubah hingga mengalami penyempurnaan-penyempurnaan kecil, yang menggiring pada daya tahan hidup serta reproduksi yang meningkat. Dengan proses seleksi alam ini, perubahan-perubahan acak yang jadi menguntungkan itu pada akhirnya menyebar lewat spesies dan menjadi norma. Tahapan pun kemudian tersetel untuk perubahan kecil berikutnya dalam proses evolusioner. Setelah, katakanlah, seribuan dari perubahan-perubahan kecil dalam rangkaian ini, yang mana masing-masing perubahan menyediakan basis bagi perubahan berikutnya, maka hasil akhirnya telah jadi—lewat sebuah proses akumulasi—terlalu kompleks untuk bisa muncul dalam sebuah babak peluang yang tunggal.

Sebagai contoh, secara teoritis adalah mungkin bagi sebuah mata untuk muncul ke keberadaan—dalam satu langkah tunggal yang beruntung—dari kondisi semula yang tidak ada apa-apa: katakanlah hanya dari kulit saja. Ini secara teoritis mungkin dalam arti bahwa, sebuah formula bisa saja dituliskan dalam bentuk sejumlah besar mutasi. Apabila semua mutasi ini terjadi secara serentak, maka sungguh sebuah mata yang sempurna bisa muncul dari kondisi semula yang tidak ada apa-apa. Tetapi, meski secara teoritis mungkin, namun hal ini dalam prakteknya tak terbayangkan. Kuantitas faktor keberuntungan yang terlibat terlalu besar. Formula yang “tepat” melibatkan perubahan-perubahan dalam sejumlah sangat besar gen-gen secara serentak. Formula yang tepat adalah satu kombinasi tertentu perubahan-perubahan dari trilyunan kombinasi peluang yang setara kemungkinannya. Kita tentu saja bisa tidak mengakui kebetulan yang ajaib seperti itu. Akan tetapi, sangat masuk akal bahwa mata moderen bisajadi terwujud dari sesuatu yang hampir sama dengan mata moderen, namun tidak persis sama: sebuah mata yang sedikit sekali kurang-terperincinya [dibandingkan mata moderen]. Dengan argumen yang sama, mata yang sedikit sekali kurang-terperincinya ini juga terwujud dari sebuah mata sebelumnya yang sedikit sekali kurang-terperincinya, dan begitu seterusnya. Jika anda mengasumsikan suatu jumlah yang cukup besar dari perbedaan-perbedaan yang cukup kecil di antara masing-masing tahap evolusioner dan pendahulunya, maka anda—mau tidak mau—harus mengakui bahwa sebuah mata moderen yang sempurna bisa berasal dari kulit melulu. Ada berapa banyak tahap-antara yang bisa kita dalilkan? Itu tergantung pada berapa panjang rentang waktu yang harus kita bahas. Apakah ada cukup banyak waktu bagi mata untuk berevolusi dengan langkah-langkah kecil dari kondisi semula yang tidak ada apa-apa?

Fosil-fosil menunjukkan kepada kita bahwa kehidupan telah dan sedang berevolusi di bumi ini selama lebih dari 3.000 juta tahun. Nyaris mustahil bagi pikiran manusia untuk menjangkau panjangnya rentang waktu seperti itu. Kita, secara alami dan untungnya memang seperti ini, cenderung melihat masa hidup kita yang kita harapkan sendiri sebagai suatu masa yang cukup panjang, tetapi kita jelas tidak bisa berharap untuk hidup sampai satu abad. Kini telah 2.000 tahun berlalu sejak masa Yesus hidup — suatu rentang waktu yang cukup panjang untuk mengaburkan garis pemisah antara sejarah dan mitos. Bisakah anda membayangkan satu juta periode waktu seperti itu sejak pangkal hingga ujungnya? Misalkan kita ingin menulis keseluruhan sejarah di atas sebuah gulungan kertas tunggal yang panjang. Jika kita menjejalkan seluruh sejarah Common Era dalam gulungan kertas sepanjang satu meter, berapa panjang bagian pra-Common Era di gulungan itu? Lalu masa permulaan evolusi, berapa panjang? Jawabannya ialah, bahwa bagian pra-Common Era di gulungan itu akan membentang dari Milan ke Moskow. Pikirkanlah implikasi-implikasi dari hal ini terhadap kuantitas perubahan evolusioner yang bisa diakomodir. Semua keturunan domestik anjing—peking, pudel, spaniel, Saint Bernard dan chihuahua—berasal dari srigala dalam suatu rentang waktu yang diukur dalam ratusan atau paling banter ribuan tahun: tak lebih dari dua meter sepanjang jalan dari Milan ke Moskow. Pikirkanlah kuantitas perubahan yang terlibat dalam proses beranjak dari seekor srigala menjadi seekor anjing peking; kemudian kalikan kuantitas itu dengan satu juta. Kalau anda memandangnya seperti itu, maka mudahlah untuk mempercayai bahwa sebuah mata bisajadi telah berevolusi dari tidak ada mata, dengan tingkat-tingkat yang kecil.

Tetaplah saja perlu kiranya memuaskan rasa ingin tahu kita bahwa setiap orang di masa-masa antara dalam jalur evolusioner, katakanlah dari hanya kulit menjadi sebuah mata moderen, telah diuntungkan oleh seleksi alam; bisajadi berupa suatu penyempurnaan dari pendahulunya dalam deretan itu, atau, setidaknya, bentuk yang mampu bertahan. Tidaklah baik kiranya berupaya membuktikan kepada diri kita bahwa, secara teoritis ada sebuah mata rantai dari masa-masa antara yang nyaris jelas, yang menggiring pada sebuah mata, jika banyak dari masa-masa antara itu bisa saja telah mati. Kadang-kadang ada yang berargumen bahwa bagian-bagian dari sebuah mata harus ada lengkap semuanya, atau, jika tidak, maka mata itu samasekali tidak bisa berfungsi. Sebelah mata, lanjut argumen itu, tidaklah lebih baik daripada tidak ada mata samasekali. Anda tidak bisa terbang hanya dengan sebelah sayap; anda tidak bisa mendengar hanya dengan sebelah telinga. Karenanya, tak mungkin ada serangkaian masa-antara setahap demi setahap yang menggiring pada terwujudnya sebuah mata, sayap ataupun telinga moderen.

Tipe argumen seperti ini begitu naifnya, hingga orang hanya bisa penasaran dalam dorongan bawah-sadar untuk mempercayainya. Jelas tidaklah benar bahwa sebelah mata itu tidak berguna. Para penderita katarak, yang lensa-lensa matanya telah diangkat lewat operasi, tidak bisa melihat dengan baik tanpa kacamata, tapi nasib mereka jauh lebih baik ketimbang orang yang tidak punya mata samasekali. Tanpa sebuah lensa, anda tidak bisa memfokuskan penglihatan pada suatu sosok yang detil, namun anda bisa menghindar untuk tidak menabrak rintangan-rintangan dan bisa mendeteksi bayangan sesosok predator yang sedang melintas.

Adapun argumen bahwa anda tidak bisa terbang dengan hanya sebelah sayap, ini disangkal oleh sejumlah besar hewan peluncur yang sangat sukses, termasuk mamalia dari banyak jenis berbeda, kadal, katak, ular dan cumi-cumi. Banyak jenis berbeda dari hewan penghuni pohon memiliki kepak kulit di antara sendi-sendinya yang betul-betul merupakan sayap fraksional. Jika anda terjatuh dari sebuah pohon, maka kepak kulit atau bagian datar dari tubuh yang meningkatkan luas daerah permukaan anda bisa menyelamatkan nyawa anda. Dan, betapapun kecil atau besarnya kepak anda, pasti akan selalu ada ketinggian kritis sedemikian rupa hingga jika anda terjatuh dari sebuah pohon dengan ketinggian seperti itu, maka nyawa anda akan terselamatkan hanya dengan daerah permukaan yang sedikit lebih luas. Lalu, ketika anak-keturunan anda telah meng-evolusi-kan daerah permukaan tambahan itu, maka nyawa mereka akan terselamatkan hanya oleh sedikit perluasan daerah permukaan lagi apabila mereka terjatuh dari pohon yang agak lebih tinggi. Dan begitu seterusnya, lewat langkah-langkah bertahap yang tak terbayangkan sampai ratusan generasi berikutnya, kita sampai pada sayap yang lengkap (sempurna).

Mata dan sayap tidak bisa muncul ke keberadaan dengan sebuah langkah tunggal. Itu akan sama saja dengan tak terhingganya keberuntungan untuk bisa memutar kombinasi angka yang membuka sebuah lemari besi besar di bank. Tetapi jika anda memutar angka-angka kunci secara acak, dan setiap kali anda tiba sedikit lebih mendekati angka keberuntungan itu, celah pintu pun terbuka sedikit demi sedikit, maka anda akan segera mendapati pintu lemari besi itu terbuka! Secara esensial, itulah rahasia bagaimana evolusi oleh seleksi alam bisa mencapai apa yang dahulu nampak mustahil. Hal-hal yang secara masuk akal tidak mungkin berasal dari para pendahulu yang sangat berbeda, bisa secara masuk akal berasal dari pendahulu-pendahulu yang hanya sedikit berbeda. Jika saja ada serangkaian cukup panjang pendahulu-pendahulu yang hanya sedikit berbeda seperti itu, maka anda bisa menelusuri asal apapun dari apapun lainnya.

Lantas, evolusi secara teoritis mampu melakukan pekerjaan yang, pada suatu ketika dahulu, nampaknya hanya merupakan kewenangan mutlak Tuhan. Akan tetapi, apakah ada bukti bahwa evolusi benar-benar telah terjadi? Jawabannya adalah ya; buktinya sangat berlimpah. Jutaan fosil ditemukan di tempat-tempat serta kedalaman-kedalaman persis seperti yang kita perkirakan apabila evolusi benar telah terjadi. Tak ada satupun fosil pernah ditemukan di tempat yang mana teori evolusi tidak memperkirakannya, meski hal ini bisa saja dengan sangat mudah terjadi: sebuah fosil mamalia di bebatuan karang yang begitu tuanya sampai-sampai ikan pun belum tiba, misalnya, sudah cukup untuk menggugurkan teori evolusi.

Pola-pola persebaran hewan dan tumbuhan hidup di benua-benua dan kepulauan-kepulauan dunia adalah tepat seperti yang diperkirakan apabila mereka berevolusi dari nenek moyang yang sama dengan tingkat-tingkat yang lambat dan perlahan. Pola-pola kemiripan di kalangan hewan dan tumbuhan adalah tepat seperti yang kita perkirakan apabila beberapa diantaranya merupakan kerabat dekat, dan beberapa lainnya merupakan kerabat jauh satu sama lain. Fakta bahwa kode genetik adalah sama pada semua mahluk hidup, sungguh menunjukkan bahwa semuanya diturunkan dari satu nenek moyang tunggal. Bukti untuk evolusi begitu kuat, sehingga satu-satunya cara untuk menyelamatkan teori penciptaan adalah dengan mengasumsikan bahwa Tuhan telah dengan sengaja menanamkan sejumlah besar bukti untuk membuatnya nampak seolah-olah evolusi telah terjadi. Dengan kata lain, fosil-fosil, persebaran geografis hewan, dan sebagainya, semua itu adalah satu trik keyakinan yang maha besar. Apakah orang mau menyembah suatu Tuhan yang mampu memainkan trik seperti itu? Tentu saja jauh lebih terhormat, juga secara ilmiah jauh lebih masuk akal, bila kita menerima segala bukti yang ada. Semua mahluk hidup adalah kerabat dari satu sama lain, dan diturunkan dari satu nenek moyang jauh yang hidup lebih dari 3.000 juta tahun yang lalu.

Dengan demikian, Argumen berdasarkan Bentuk-Rancang pun gugur sebagai sebuah alasan untuk mempercayai adanya suatu Tuhan. Adakah argumen lainnya? Beberapa orang percaya akan Tuhan dikarenakan apa yang nampak bagi mereka sebagai pewahyuan yang bersifat pribadi. Wahyu-wahyu seperti itu tidak selalu mendatangkan manfaat, tapi tak ragu lagi terasa nyata bagi individu yang meyakininya. Banyak penghuni rumah sakit jiwa yang memiliki keyakinan pribadi yang tak tergoyahkan bahwa dirinya adalah Napoleon, atau bahkan Tuhan itu sendiri. Tak ragu lagi bahwa keyakinan seperti itu punya kekuatan sangat dahsyat bagi mereka yang memilikinya, namun ini bukanlah alasan bagi orang-orang lain di antara kita untuk mempercayainya. Sesungguhnya, karena kepercayaan-kepercayaan seperti itu bertentangan satu sama lain, maka kita tidak bisa mempercayainya sama sekali.

Ada sedikit lagi yang perlu disampaikan disini. Evolusi melalui seleksi alam menjelaskan banyak hal, namun evolusi ini tidak bisa mulai terjadi dari kondisi semula yang tidak ada apa-apa. Evolusi tidak bisa mulai sampai ada semacam reproduksi dan hereditas elementer. Hereditas moderen didasarkan atas kode DNA, yang ini sendiri terlalu rumit untuk muncul secara spontan ke keberadaan lewat sebuah aktivitas tunggal yang bersifat kebetulan. Nampaknya ini berarti bahwa pasti telah ada suatu sistem hereditas terdahulu—kini telah sirna—yang pada waktu itu cukup sederhana untuk muncul secara kebetulan, dan hukum-hukum kimia yang menyediakan medium di mana suatu bentuk primitif seleksi alam kumulatif bisa mulai berlangsung. DNA adalah produk berikutnya dari seleksi kumulatif yang terdahulu ini. Sebelum sebentuk seleksi alam awal ini, ada suatu periode ketika campuran-campuran kimiawi yang kompleks tersusun dari campuran-campuran yang lebih sederhana, dan sebelum itu ada suatu periode ketika unsur-unsur kimiawi tersusun dari unsur-unsur yang lebih sederhana, mengikuti hukum-hukum fisika yang secara umum sudah sangat dipahami. Sebelum itu, pada akhirnya segala sesuatu tersusun dari hidrogen murni sebagai akibat segera dari dentuman besar, yang telah memulakan alam semesta.

Ada godaan untuk berargumen bahwa, meski Tuhan mungkin tidak diperlukan untuk menjelaskan evolusi tatanan kompleks yang mana alam semesta—dengan hukum-hukum fisikanya yang fundamental—suatu ketika dulu telah mulai, namun kita memerlukan suatu Tuhan untuk menjelaskan asal-usul segala sesuatu. Ide ini tidaklah menghasilkan Tuhan dengan banyak hal yang dilakukan-Nya: hanya menyetel dentuman besar, kemudian duduk santai menunggu segalanya terjadi. Ahli kimia fisikal, Peter Atkins, dalam bukunya yang ditulis dengan indah, Penciptaan, mendalilkan adanya suatu Tuhan pemalas yang berupaya keras untuk melakukan sesedikit mungkin kerja agar bisa memulakan segala sesuatu. Atkins menjelaskan bagaimana setiap langkah dalam sejarah alam semesta merupakan lanjutan—dengan hukum fisika yang sederhana—dari langkah pendahulunya. Maka, Atkins pun mengupas jumlah kerja yang akan perlu dilakukan si pencipta yang malas ini, dan akhirnya menyimpulkan bahwa si pencipta ini pada kenyataannya tidak perlu melakukan apa-apa samasekali!

Detil-detil fase awal alam semesta merupakan bagian dari dunia ilmu fisika, sedangkan saya adalah seorang ahli biologi, lebih memusatkan perhatian pada fase-fase berikutnya dari evolusi kompleksitas. Bagi saya, poin pentingnya ialah bahwa, kendatipun ahli fisika perlu mendalilkan suatu titik minimum yang tak bisa dibagi lagi, yang harus hadir pada permulaan agar alam semesta bisa mulai, namun titik minimum itu tentu saja sangat sederhana. Secara pengertian dasar (definisi), penjelasan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang sederhana adalah lebih masuk akal serta lebih memuaskan ketimbang penjelasan yang harus mendalilkan permulaan-permulaan yang kompleks dan secara statistik tidak mungkin. Dan anda tidak bisa mendapatkan yang jauh lebih kompleks selain suatu Tuhan Yang Maha Kuasa!

Richard Dawkins adalah seorang profesor di Universitas Oxford untuk kajian Pemahaman Publik tentang Sains. Dia adalah penulis buku Si Buta Pembuat Arloji (sebagian dari artikel ini didasarkan atas isi buku tersebut) dan Mendaki Puncak yang Mustahil. Dia adalah editor senior pada jurnal Free Inquiry.

Karya-karya Dawkins antara lain adalah “The Blind Watchmaker” dan “The Selfish Gene” (yang merupakan bestseller internasional yang diterbitkan dalam 13 bahasa). Dalam bidang evolusioner biologi, Dawkins merupakan ilmuwan yang diakui telah memberikan sumbangan besar dalam biologi sosial- pada telaah-telaah yang berkaitan dengan teori genetis mengenai seleksi alam (natural selection). Dawkins juga dikenal sebagai “tokoh” yang memberikan sumbangan signifikan dalam wacana sains/agama – dalam tulisan-tulisan populernya, acara-acara televisi dan debat-debat. Selain itu, Dawkins merupakan salah satu kontributor tetap pada Free Inquiry, buletin yang diterbitkan oleh Secular Humanism (www.secularhumanism.org/), sebuah organisasi yang memperjuangkan sekularisme.

Webmaster@SecularHumanism.org

2 Coment:

Darmadi H. Tariah mengatakan...

hahahahahahah maaf kalo komenku bukan komentar

Kain Kusut mengatakan...

hehehe juga bos

Posting Komentar

 
Copyright © Kain Kusam Ltd.