MANUSIA DALAM PERADABAN
Seluruh kehidupan di atas planet yang semakin tak nyaman ini diatur oleh sistem ekonomi global yang mendasari dirinya pada uang, profit dan pertukaran–kapitalisme. Secara virtual, segala sesuatu memiliki harga–makanan, minuman, tanah, rumah, tumbuhan, binatang, kerja manusia. Mereka yang tak mampu membayar tak akan diperbolehkan mendapatkannya, bahkan apabila konsekuensi dari ketidakmampuan tersebut adalah kematian.
Bumi bukanlah milik manusia, Manusialah yang dimiliki bumi.” – Green Anarchy
“Saat manusia mulai merasa memiliki bumi, maka ia telah kehilangan sisi alamiahnya.” – Taufan Ishmael
Bagi mayoritas manusia konsekuensinya adalah bahwa hidup menjadi didominasi oleh kerja, sekolah yang menghabiskan setengah usia seseorang, pabrik, kantor, pasar dan penjara. Bagi banyak orang ini berakibat pada kemiskinan, perang dan berbagai bentuk penindasan lainnya. Tetapi toh manusia bukan satu-satunya yang terjebak dalam jejaring mengerikan ini. Segala jenis spesies menjadi subyek pengaplikasian industri yang berujung pada kesengsaraan dan kematian alam liar, bahkan juga, kepunahan.
Telah jelas bahwa apa yang dialami oleh manusia, dialami juga oleh spesies lain yang hidup di atas bumi, semua juga terjadi atas sumber yang sama, sistem produksi dan pertukaran yang juga sama. Dalam tulisan berikut ini, akan berusaha dipaparkan bahwa sistem yang mengeksploitasi manusia saat ini adalah sistem yang sama yang lahir dari penghancuran atas spesies lainnya, atas ekologi secara keseluruhan. Dengan demikian, diharapkan gerakan yang berupaya mengabolisi kapitalisme akan menyadari sepenuhnya bahwa itu adalah berarti juga mengubah relasi tak hanya antarmanusianya saja, tetapi juga antara manusia dengan alamnya.
Komunal Primitif
Saat kita berbicara mengenai relasi manusia dengan alam, adalah penting untuk tidak kehilangan pandangan atas fakta bahwa manusia adalah juga termasuk ke dalam genus mamalia. Sebagaimana kita bisa telusuri pada perjalanan hidup manusia. Hominid muncul sekitar 25 juta tahun lalu, darinya berevolusi berbagai spesies, termasuk kera, dan sekitar 250.000 tahun lalu, barulah muncul Homo Sapiens. Gigi geligi dan berbagai bentuk fisikal lainnya, memperlihatkan bahwa Hominid pada utamanya adalah vegetarian. Manusia tidak memiliki gigi yang tajam, cakar yang kuat atau sistem pencernaan yang umum seperti karnivora. Walaupun di era tersebut beberapa Hominid menjarah daging hasil buruan binatang lain, tetapi pola makan pada dasarnya terpaut pada tumbuhan–tetapi bukan dengan cara bercocok tanam secara khusus.
Perburuan binatang yang lebih besar untuk dimakan, hadir sejalan dengan semakin pentingnya daging untuk masuk ke dalam pola makan, yang menjadi signifikan saat manusia berhadapan dengan kondisi yang lebih dingin di mana tumbuhan semakin sulit ditemui, khususnya di era terakhir dari empat bagian besar Zaman Es. Perburuan besar yang dilakukan pada era tersebut, walaupun mulai menampakkan adanya divisi kerja, di mana perempuan masih turut berburu walaupun tidak dominan karena kebanyakan mengurus anak dan mengolah makanan, toh hal tersebut tidak terlalu kentara.
Tetapi bagaimanapun juga berburu memperlihatkan jejak awal transformasi aktivitas manusia yang bebas ke dalam sesuatu yang mirip kerja. Hal ini terjadi khususnya karena berburu membutuhkan usaha berlebih: “Pada sekitar 240 kalori di mana tumbuhan dapat dikumpulkan dalam waktu satu jam, sementara anggap saja kegagalan berburu yang tinggi. Diperkirakan satu jam berburu memroduksi hanya 100 kalori makanan” (Ehrenberg). Lebih pentingnya lagi, aktivitas memetik dan mengumpulkan makanan dari tumbuhan dapat dilakukan oleh seisi komuniti yang sepenuhnya terintegrasi dengan aktivitas sosial lain seperti bernyanyi, bercakap-cakap dan mengurus anak. Berburu di sisi lain, sangat bergantung pada pelacakan dan fokus tinggi, tenang dan cenderung menjadi tugas yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja.
Walaupun corak produksi berburu telah mulai mapan kehadirannya, tidak secara langsung manusia awal itu hanya memakan daging saja. Imaji popular bahwa para primitif yang haus darah dan makan daging setelah membunuh buruannya dengan kejam jelas adalah omong kosong. Dugaan bahwa manusia adalah sepenuhnya pemburu di mana “makanan utamanya adalah daging dan pekerjaan utamanya adalah berburu” telah banyak dikritisi sebagai “sebuah refleksi di mana kebanyakan kepentingan serta prakonsepsi-prakonsepsi dari para antropolog lelaki Barat abad ke-19 dan status berburu sebagai pengisi waktu luang kelas atas di Eropa abad ke-19.” (Ehrenberg).
Bahkan juga menurut Margaret Ehrenberg, apa yang disebut sebagai masyarakat pemburu-peramu (hunter-gatherer) seharusnya lebih tepat disebut masyarakat pemetik sebagaimana pengumpulan makanan dari tumbuhan berupa dedaunan, umbi dan buah-buahan di banyak kasus jauh lebih fundamental dibanding dengan berburu.
Tetapi bagaimanapun juga, mayoritas rentang waktu di mana manusia eksis, manusia hidup dalam kelompok-kelompok yang terpisah dan relatif otonom, dalam keluarga-keluarga (dalam makna luas: keluarga sesuai garis keturunan), dalam suku-suku. Gaya hidup mereka secara esensial komunistik. Tak ada jual beli, tak ada kerja upahan, tak ada negara dan tak ada properti privat: “barang-barang tidak diproduksi untuk dikonsumsi setelah dipertukarkan atau setelah ditempatkan di pasar… Komunit mendistribusikan apa yang diproduksinya sesuai dengan aturan-aturan sederhana, dan setiap orang secara langsung mendapatkan apa yang diberikan. Berbagai aktivitas diputuskan (sesungguhnya diterapkan pada kelompok sesuai kebutuhan) dan dilakukan bersama-sama, dan hasilnya juga dibagikan bersama-sama.” (Gilles DauvĂ© & François Martin).
Dalam masyarakat demikian, relasi antara manusia dan alam secara keseluruhan sepenuhnya berbeda dengan masyarakat modern. Fakta paling signifikan adalah bahwa dalam masyarakat komunal primitif, binatang tidak menjadi milik siapapun. Tak ada properti privat atas tanah, tumbuhan ataupun binatang dan tak ada domestikasi. Walaupun beberapa binatang diburu, binatang-binatang tetap hidup bebas dan liar. Manusia hanya mengambil apa yang mereka butuhkan dari alam, binatang hanya diburu sesuai kebutuhan pangan atau sandang komuniti yang jelas terbatas. Tak ada gunanya bagi mereka untuk membantai binatang secara massal, sehubungan komuniti juga tak merasa perlu untuk memiliki atau menyimpan surplus, tak ada pasar untuk menjual surplus. Komuniti-komuniti secara tipikal hidup dalam sebuah relasi yang harmonis dengan lingkungan mereka; alam adalah rumah dan penyedia hidup bagi mereka, sehingga tak ada keinginan bagi mereka untuk menghancurkannya dan memunahkan spesies lain.
Binatang tidak dilihat sebagai komoditi, melainkan sebagai sebuah campuran dari kekaguman, keajaiban yang patut direspek dan ditakuti. Bukannya dianggap sebagai spesies yang lebih rendah dari manusia, binatang dilihat sebagai makhluk hidup yang berbagi alam dengan manusia. Tak jarang komuniti-komuniti mengadopsi binatang tertentu sebagai simbol mereka, dalam kasus lain binatang juga sering dianggap sebagai pelindung suku yang harus dihormati.
Domestikasi dan Dominasi
Relasi manusia dengan alam dan antar diri mereka sendiri, secara radikal tertransformasikan bersamaan dengan pengembangan agrikultur. Agrikultur menginstitusikan sebuah relasi baru dengan dunia alamiah: “tanah itu sendiri menjadi sebuah instrumen produksi dan spesies planet menjadi obyek-obyeknya.” (John Zerzan). Domestikasi, yang ditandai dengan pembudidayaan tumbuhan dan pengurungan binatang di tempat-tempat tertentu, adalah titik kunci awal penggantian yang berangsur-angsur dari gaya hidup nomadik dengan sistem yang melahirkan negara, kelas, kota, kerja dan properti privat. Dalam konteks ini, Zerzan berargumen, “ saat mendomestikasikan binatang dan tanaman, manusia pada intinya mendomestikasikan dirinya sendiri.”
Tetapi walaupun begini, sebaiknya kita tidak lantas menuduh bahwa agrikultur-lah dosa utama manusia, yang menyebabkan ketidakberuntungan hidup manusia di atas bumi dan ditendangnya kita dari taman firdaus primitif-anarkistik. Perkembangan negara dan kelas adalah sebuah proses yang kontradiktif, kompleks sepanjang sisa waktu perjalanan hidup manusia di atas bumi, sehingga tak bisa sekedar semua itu dipersalahkan pada agrikultur semata. Saat pendomestikasian tumbuhan dan binatang (dan pada akhirnya juga manusia) memainkan peran penting dalam keseluruhan kisah hidup kita, itu semua bukan kisah keseluruhan.
Beberapa arkeolog mengatakan bahwa kelahiran elit-elit sosial adalah asal muasal lahirnya agrikultur, dan bukan sebaliknya. Menurut Ian Hodder (1990), “ada kemungkinan bahwa domestikasi dalam makna sosial dan simbolis terjadi lebih dahulu pada pendomestikasian dalam makna ekonomis.” Di mana aktivitas memetik menawarkan akses langsung pada makanan (saat memang tersedia), terdapat sebuah “jeda untuk kembali pada investasi kerja agrikultural”: tanaman pangan harus ditumbuhkan, binatang diberi makan dan ditumbuhkan sebelum makanan kembali tersedia. Dengan demikian, “pengadopsian teknik-teknik produksi yang lebih intensif, mengarah pada agrikultur, melayani berbagai kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat di mana rezim ekonomi baru yang menjerat orang-orang dalam struktur sosial dan ekonomi di mana mereka menjadi tergantung padanya.” Dalam pengertian inilah maka “domestikasi binatang liar untuk diternakkan adalah sebuah metafora dan mekanisme kontrol masyarakat.”
Beberapa bentuk agrikultur eksis selama ribuan tahun tanpa secara khusus menimbulkan perubahan sosial yang radikal. Transisi dari memetik ke bertani diyakini dimulai di daerah yang disebut daerah Bulan Sabit yang Subur (kini menjadi negara Irak, Iran, Turki, Syria, Israel dan Jordania) di sekitaran 10.000 SM dan benar-benar mapan di sekitaran 6000 SM. Bagaimanapun juga, hanya sejumlah kecil binatang yang dikandangi, sedangkan sebagian besar daging masih didapatkan dari hasil berburu. Fokus utama pertanian terletak pada bagaimana menumbuhkan tanaman pangan dengan menggunakan teknologi sederhana, bukan dengan membajak tanah; para arkeolog kadang menyebutkan bahwa kala tersebut digunakan teknik hortikultura.
Perubahan yang besar baru hadir di era akhir Neolitikum (sekitar 3000 SM) dengan dikembangkannya agrikultur secara lebih intensif. Binatang mulai digunakan untuk diambil susunya dan produk wool selain dagingnya, serta mulai digunakan untuk menarik bajak dan kereta. Untuk pertama kalinya, manusia mulai mengurung sejumlah besar binatang dalam sebuah peternakan. Secara sistematis, binatang-binatang itu dipisahkan dari kehidupan liarnya dan dikembangbiakkan dengan selektif, sehingga binatang-binatang domestik pertama itu secara berangsur-angsur menjadi berbeda secara fisik dari saudara-saudara mereka yang hidup di alam bebas.
Dampak sosial dari hal ini sangat menakjubkan. Dari praktek “binatang sebagai properti”, Camatte berargumen, “lahir pulalah properti privat dan nilai tukar” serta “kelahiran awal patriarki.” Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam masyarakat secara dramatis meningkat pesat dengan sejumlah besar bidang kerja: pembukaan hutan untuk lahan pertanian, memberi makan dan mengurus binatang ternak, memerah susu, memroses produk-produk yang dihasilkan dari susu, mengambil dan memintal wool, dan seterusnya hingga “bertani dan memroduksi makanan… berubah dari sebuah tugas yang sederhana di mana seorang perempuan, atau sekelompok perempuan, dapat melakukannya dengan peralatan sederhana, menjadi sebuah operasi yang kompleks di mana dibutuhkan sebagai pekerjaan penuh waktu bagi seluruh populasi.” (Ehrenberg)
Relasi gender mulai tertransformasikan. Permintaan akan tenaga kerja membutuhkan perempuan untuk memiliki lebih banyak lagi anak (dalam masyarakat pemetik, kelahiran anak cenderung memiliki jeda cukup panjang, antara tiga atau empat tahun). Intensifikasi kerja perempuan dalam mereproduksi tenaga kerja membuat mereka disisihkan dari tugas-tugas lain. Sebagaimana kebutuhan berburu semakin menurun, lelaki semakin banyak yang bekerja di lahan pertanian yang sebelumnya menjadi bagian para perempuan. Posisi sosial perempuan juga semakin menyusut hingga “mereka tak lagi banyak berkontribusi bagi produksi makanan harian, yang sebelumnya menjadi faktor krusial dalam memapankan kesetaraan status yang sebelumnya mereka miliki.” (Ehrenberg)
Ada sebuah pendapat yang berkata bahwa, “manajemen ternak atas binatang-binatang domestiklah yang menimbulkan sebuah konsepsi hidup politik yang intervensionis dan manipulatif. Domestikasi dengan demikian menjadi sebuah pola arketipikal bagi berbagai jenis subordinasi sosial lainnya. Model yang hadir adalah keberadaan seorang penggembala yang menjadi seorang pemimpin, seperti pendeta di tengah staf kependetaannya. Binatang-binatang yang loyal, patuh, menuruti kehendak tuannya adalah contoh bagi struktur majikan dan pekerja.” (Keith Thomas)
Binatang sebagai Kemakmuran
Setelah pendomestikasian, binatang-binatang, atau setidaknya beberapa spesies, tak lagi hidup liar dan bebas. Mereka kini menjadi milik dari seseorang; Adam Smith mencatat bahwa bersamaan dengan tanaman pangan, sejumlah binatang adalah menjadi bentuk paling awal dari properti privat. Properti ini tidak hanya digunakan untuk memroduksi makanan dan pakaian; tapi juga sebagai sebuah bentuk kemakmuran. Dari tahap awal domestikasi “konsumsi daging adalah unjuk penampakan akan kekuasaan penguasa dominan. Semakin banyak ternak yang disembelih, dimasak dan dimakan, semakin besar seseorang tersebut.” (Colin Spencer)
Binatang-binatang domestik adalah sebuah bentuk fundamental dari kemakmuran “yang dapat diakumulasi dan diberikan dari satu generasi ke generasi berikutnya… sebagaimana satu keluarga mengakumulasi lebih banyak lagi binatang ternak atau memiliki alat bajak yang lebih baik, jenjang antara kemakmuran mereka dan tetangga-tetangga mereka akan semakin meningkat secara progresif… perbedaan antara kaya dan miskin, yang tidak tampak di tengah masyarakat pemetik, kini mulai berkembang.” (Ehrenberg)
Sebagaimana binatang dikembangkan sebagai penentu kemakmuran, binatang yang tidak dibutuhkan secara langsung untuk dikonsumsi dapat dipertukarkan dengan pemilik properti lain dan bahkan juga bisa digunakan sebagai alat tukar. Di tahap awal munculnya pasar ini, sebagaimana yang diteliti oleh Marx dalam Kapital, “bentuk uang dilekatkan pada obyek kemakmuran, sebagai contohnya binatang ternak.” Dengannya, binatang menjadi properti bagi kelompok atau individu-individu, tidak hanya dapat diperjualbelikan tapi juga dapat dicuri dan diperebutkan. Saat pengembangan perburuan membutuhkan organisasi sebagian masyarakat sebagai mesin pembunuh, transformasi dari para pemburu menjadi sebuah mesin perang yang secara sistematis membunuh manusia lain juga mulai hadir “saat untuk pertama kalinya manusia memiliki sebuah sumber daya yang sangat berharga sekaligus cukup mudah untuk dicuri.” (Ehrenberg)
Perbudakan
Banyak dari mereka yang bekerja di awal peradaban adalah budak. Saat binatang mulai diperlakukan sebagai sekedar obyek yang dapat digunakan demi kepentingan manusia, bukan lagi sesuatu yang hidup berdampingan di alam, pengenalan perbudakan juga menjelaskan bagaimana beberapa kelompok manusia tertentu memiliki status yang sama dengan binatang: sebagai obyek. Sebagaimana yang dicatat oleh Marx (1867), “di bawah perbudakan, pekerja tak dapat dibedakan sekedar sebagai instrumentum vocale (alat yang bisa berbicara) dari binatang, yang mana berarti juga instrumentum semi-vocale (alat yang semi-bisu) dan dari alat tak hidup, yang berarti juga instrumentum mutum (alat bisu).”
Dalam periode modern, ideologi rasis mendefinisikan manusia berkulit hitam dan berwarna lebih sebagai binatang ketimbang sebagai manusia, semakin gelap warna kulit seseorang, semakin ia sederajat dengan binatang, itu jugalah yang melegitimasi perbudakan. Budak diperlakukan seperti binatang ternak, harus mampu bertahan di bawah kondisi-kondisi mengerikan saat ditransportasikan, diambil anak-anaknya dan dipisahkan dari keluarganya, dicap dengan besi panas, mengenakan rantai besi dan bahkan juga untuk eksperimentasi medis. Budak dijual di pasar, diuji ketahanan fisiknya dan kekuatannya, serta lainnya. Budak yang tak patuh akan dikirim ke tempat penjinakkan sebagaimana kuda liar dijinakkan. Mirip dengan “domestikasi binatang yang membutuhkan teknik-teknik untuk berurusan dengan para pembangkang: kekang bagi perempuan yang membantah; kurungan, rantai bagi orang gila.” (Thomas). Kita dapat menambahkan penjara dalam daftar ini sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Michel Foucault.
Akumulasi primitif
Industri binatang, khususnya ternak, telah menjadi titik pusat pengembangan relasi sosial kapitalis ke seluruh dunia, dari pusat-pusat awalnya di Eropa Barat hingga ke negeri-negeri lain. Marx mengajukan argumen bahwa demi pengembangan kapitalisme, harus dilakukan sebuah proses pelucutan properti secara brutal, yaitu apa yang ia sebut sebagai “akumulasi primitif… proses historis dari penceraian produsen dengan alat produksinya.” Kapitalisme membutuhkan seluruh alat produksi (termasuk tanah) untuk menjadi kapital, dan mayoritas populasi direduksi menjadi proletarian–orang yang hanya dapat bertahan hidup dengan cara menjual tenaga kerjanya untuk dipertukarkan dengan upah.
Dalam masyarakat pra-kapitalis, walaupun tidak sepenuhnya terjadi di seluruh dunia, banyak para petani yang memiliki tanah, bekerja di atas tanahnya dan tak perlu mengumpulkan uang untuk membeli makanan. Termasuk di beberapa daerah feodal seperti di Indonesia pra-kapitalis, mereka yang bekerja di atas tanah milik seseorang, biasanya mendapatkan jatah hasil panen dalam jumlah tertentu yang setidaknya tidak akan membuat keluarga mereka kelaparan–kondisi ini telah berubah sehingga para petani tak bertanah tak lagi mendapat jatah panen, melainkan tenaga kerja mereka dibayar dengan uang untuk membeli makanan. Untuk terjadinya perubahan ini, para petani yang bertanah harus dipaksa untuk melepaskan kepemilikan atas tanahnya melalui “penaklukan, perbudakan, perampokan dan pembunuhan”–“sejarah ini, sejarah penjarahan mereka, ditulis dari tahun ke tahun dalam darah dan api kemanusiaan.” (Marx)
Kolonisasi berdarah atas daratan Amerika juga menampilkan penggantian masyarakat adat dengan binatang-binatang komoditi, dimulai dengan Kolumbus yang pertama kali membawa binatang ternak dan kuda ke “Dunia Baru” di tahun 1494. Mitos Hollywood tentang perjuangan antara koboi (cow-boy, ‘cow’ artinya sapi; dan cowboy adalah istilah bagi para peternak) dengan indian memang tidak akurat secara historis, tetapi setidaknya mitos tersebut mengekspresikan sebuah kebenaran dasar yang terjadi. Dinamika pelucutan kepemilikan dan pemusnahan masyarakat adat seringkali demi upaya untuk menggantinya dengan peternakan. Ironisnya, beberapa korban pertama dari pelucutan tersebut justru juga menolong penyempurnaan proses ini. Misalnya di Patagonia di mana indian Araucanian dikepung dan dibantai di tahun 1870, beberapa yang selamat justru juga mulai beternak. Mereka “terasing di daerah mereka sendiri, dipisahkan secara kejam dari komunitasnya dan dipaksa mengelana di lautan, mereka mendarat di Falkland, yang mana mereka kemudian menjadi bagian aktif dalam pelucutan brutal di sana, di sisi lain dunia.” (Hank Wangford)
Pembukaan lahan peternakan memang bukan satu-satunya aspek industri binatang terpenting bagi kolonisasi. Di Amerika Utara khususnya, perdagangan bulu binatang adalah hal penting. Merunut pada Fredy Perlman, di akhir abad ke-18, “Bulu adalah minyaknya Eropa. Kekaisaran Perancis di Amerika hadir di sekitaran perdagangan bulu binatang, sementara kekaisaran Russia di Siberia adalah juga kekaisaran para penjerat bulu binatang.”
Di Indonesia, proses akumulasi primitif ini banyak dilakukan dalam kampanye transmigrasi di era Suharto, di mana di beberapa daerah seperti Kalimantan, hutan-hutan yang sebelumnya menjadi lahan hidup para masyarakat adat dibuka untuk dijadikan kawasan pertanian bagi para transmigran. Binatang-binatang yang sebelumnya menjadi penunjang hidup masyarakat adat dan dihormati, juga mulai dijadikan obyek komoditi. Sementara masyarakat adat sendiri semakin didorong untuk tinggal ke daerah-daerah hutan pedalaman yang tinggal menunggu waktu untuk dipunahkan apabila tidak diasimilasikan ke dalam kehidupan modern. Sementara di Papua Barat, proses modernisasi memaksa para anggota masyarakat adat yang kehidupan awalnya adalah sebagai pemburu-peramu (sebagiannya malah masih masyarakat pemetik) ditransformasikan ke dalam kerja-kerja pabrikan di tambang-tambang pengolahan mineral setelah ruang hidup mereka dipersempit, hidup mereka yang dekat dengan alam dilucuti dan sungai-sungai yang menjadi sumber hidup mereka dicemari.
Akumulasi primitif tidak hanya terjadi sebagai sebuah insentif dari hasil menyingkirkan manusia dari keterikatannya atas alam dan tanah, ini juga terjadi dengan mengakumulasi profit dari eksploitasi binatang dan pengenalan pola agrikultur modern. Dalam pemahaman ini, pelucutan manusia dari alam dan penransformasian manusia kepada pola pikir penguasa alam semesta adalah juga motor penggerak akumulasi primitif, yang mana tanpanya kelas penguasa tak akan dapat menciptakan proletariat, tak akan mendapatkan akses pada kemakmuran mineral, dan mempertahankan posisinya.
Peternakan dan Asal Mula Sistem Pabrik
Kapitalisme berusaha untuk menyedot hingga ke titik akhir kehidupan manusia, mengintensifkan proses kerja untuk mengeliminasi seluruh gerak yang tak produktif. Ia berusaha untuk menyapu bersih setiap gerakan tangan yang tak dapat dikontrol, setiap gerakan mata yang tak produktif, setiap penjelajahan pikiran yang tak diinginkan. Mirip dengan yang terjadi pada binatang, tujuannya adalah mengeliminasi apapun yang tak ada kontribusinya bagi produk akhir, sehingga mengubah mereka ke dalam mesin yang mengonversi daging sebagai komoditi.
Sebagaimana binatang di peternakan, di bawah sistem pabrik, manusia dibatasi gerak tubuhnya untuk memaksimalkan profit. Pabrik peternakan telah dikembangkan di era kekaisaran Romawi; Plutarch menulis bahwa “adalah sebuah praktik umum untuk menjahit mata bangau dan angsa hingga tertutup dan mengurung mereka di tempat gelap, agar mereka menjadi lebih gemuk.” Di Inggris abad ke-17, babi dan domba digemukkan dengan cara dikurung di tempat gelap. “Angsa diyakini akan bertambah gemuk apabila kaki mereka dipakukan ke lantai.” (Thomas). Gerakan binatang dibatasi karena dapat membakar kalori yang menyebabkan penggemukan menjadi terhambat.
Teknik-teknik dasar yang sama masih digunakan dalam pabrik peternakan modern, dengan penambahan metoda baru pengekangan seperti kandang individual bagi beberapa binatang tertentu seperti babi. Dirunut lebih lanjut, tampak bahwa pengembangan pabrik bagi manusia dalam periode modern dipengaruhi oleh sejarah panjang pabrik peternakan. Tujuan dari sistem pabrik adalah untuk mengonsentrasikan tubuh manusia di satu tempat untuk meningkatkan kontrol atas gerakan mereka. Perbedaan utama dengan pabrik peternakan adalah bahwa manusia hanya menjadi bagian mekanisme pabrik di sebagian hari hidupnya; kapitalisme membutuhkan tubuh mereka agar bisa bertahan selama mungkin dalam upaya memaksimalkan profit. Sementara bagi binatang, tujuannya adalah menggemukkan mereka untuk disembelih dalam waktu sesingkat mungkin—ayam broiler, di mana waktu hidup ayam secara alamiah adalah tujuh tahun, dimanipulasi hingga dapat menghasilkan daging sebanyak mungkin hanya dalam waktu hidup selama tujuh minggu.
Asal-usul penggunaan ban berjalan dalam proses produksi pabrik juga diawali dalam pabrik pengepakan daging di Amerika di abad ke-19. “Pabrik pengepakan daging adalah industri Amerika pertama yang menciptakan ban berjalan, karena tak mampu berurusan dengan arus konstan dari ternak yang didatangkan setiap hari.” (Jeremy Rifkin). “Henry Ford menjelaskan bahwa ide ban berjalan dalam pabrik mobil muncul dari para pengepak daging di Chicago.” (Carol Adams)
Pengembangbiakan: Intensifikasi Genetik pada Produksi
Jacques Camatte berkata bahwa “kapital menjadi otonom dengan mendomestikasikan manusia. Setelah menganalisa-memilah-membelah manusia, kapital merekonstruksi manusia ke dalam sebuah fungsi khusus dalam prosesnya.” Dengan manusia, proses ini dilengkapi tidak hanya melalui ideologi, tetapi juga dengan menerapkan pada tubuh manusia sejumlah rezim disiplin: sekolah, penjara dan pabrik.
Pada binatang, hal-hal tersebut jauh lebih pelik dengan memberikan modifikasi fisikal untuk membuat mereka semakin produktif. Terdapat sebuah sejarah panjang tentang pengembangbiakan binatang, sebagaimana yang dideskripsikan oleh Zerzan, “pendomestikasian binatang… mengesampingkan seleksi alamiah dan mengembangkan kembali dunia kontrol organik ke dalam sebuah tingkat artifisial.
Ditransmutasikan dari sebuah alam kebebasan ke dalam bentuk parasit yang tak tertolong, binatang-binatang tersebut sepenuhnya menjadi tergantung pada manusia untuk dapat bertahan hidup. Pada mamalia domestik, ukuran otak menjadi relatif lebih kecil atas semakin berkurangnya aktivitas. Tenang, tak berkembang, menjadi tipikal yang terjadi pada domba, binatang yang paling banyak didomestikasi; intelejensia yang terdapat pada domba liar sepenuhnya lenyap. Relasi sosial antarbinatang domestik direduksi pada segi esensial paling mendasar saja. Bagian-bagian dari lingkaran hidup yang tak reproduktif diminimalisir, dan kapasitas binatang untuk mengenali spesiesnya sendiri semakin berkurang.”
Di abad ke-20 sejumlah upaya untuk mengaplikasikan teknik pengembangbiakan binatang pada manusia telah dimulai, sebagaimana yang dipromosikan oleh gerakan eugenik. Sterilisasi paksa dan upaya lain dilakukan untuk menghentikan kelahiran bayi cacat. Saat hal ini diaplikasikan secara intensif oleh partai Nazi Jerman, program eugenik juga diimplementasikan di negeri sosial demokrat seperti Swedia. Di Inggris, eugenik memang tidak secara sistematis diaplikasikan, tetapi ide-idenya menjadi sangat berpengaruh pada beberapa politisi.
Pengembangbiakan selektif atas binatang kini diperbaharui melalui pengembangan sejumlah besar metoda teknologi biogenetik. Spesies-spesies binatang dimanipulasi secara genetiks untuk mengembangkan xenotransplantasi (tranplantasi organ antarspesies), farmasi (produksi obat-obatan dan berbagai produk lain dari binatang-binatang yang dimutasi secara genetik) dan peningkatan produktivitas makanan. Sebagai langkah lanjut dari komodifikasi kehidupan, beberapa parlemen Eropa telah memilih untuk mematenkan binatang dan tumbuhan yang telah dimutasi secara genetik. Perusahaan-perusahaan bioteknologi seperti Monsanto kini dapat mengajukan klaim bahwa beberapa tanaman hasil biogenetik adalah properti privat mereka.
Camatte meramalkan bahwa pada perkembangan jangka panjang mendatang, kapitalisme dapat menjadi “mutasi manusia atau pengubahan spesies: produksi sebuah makhluk yang sepenuhnya dapat diprogram dan kehilangan seluruh karakteristiknya sebagai spesies Homo Sapiens.” Critical Arts Ensemble mengatakan bahwa hal tersebut sebenarnya telah dimulai di mana “individu dari berbagai kelompok dan kelas sosial dipaksa untuk menyerahkan tubuh mereka untuk direkonfigurasi sehingga mereka dapat berfungsi dengan lebih efektif di bawah operasi yang terobsesi secara rasional dari pankapitalisme (produksi, konsumsi dan perintah).” Dalam masa depan yang tak terlalu jauh, mekanisme utamanya berupa penggabungan antara organisme dan substansi kimiawi seperti obat-obatan yang dapat mengontrol mood. Kloning, cyborg dan replika adalah materi bagi pembuatan karya fiksi-ilmiah, tetapi eksperimentasi pada binatang dan tumbuhan dan upaya untuk pengontrolan sepenuhnya atas alam beserta seluruh organisme yang eksis di dalamnya adalah juga tanda awal bahwa penerapannya pada manusia telah begitu dekat dan menjadi realisasi karya-karya fiksi-ilmiah di tengah masyarakat kelas.
Melampaui Humanisme
Dominasi manusia atas alam telah dijustifikasi oleh beberapa agama, banyak ideologi termasuk humanisme, yang mana kesemuanya menempatkan manusia sebagai pusat penciptaan, raja dunia, atas alam dan bukan di tengah alam. Batas antara manusia dan binatang dikokohkan dengan absolut dan jelas. Konstruksi “manusia” dalam imaji ini telah melibatkan penolakan dan represi atas kebutuhan dan hasrat manusia. Dengan demikian keseluruhan kategori hidup manusia, sebagaimana seks, tarian dan ketelanjangan, oleh para moralis dituduh sepanjang sejarah sebagai sifat yang liar dan “kebinatangan”.
Sang sosialis Italia, Antonio Gramsci, dalam karyanya Prison Notebooks menulis bahwa “sejarah industrialisme selalu berarti perjuangan yang berkelanjutan… melawan elemen kebinatangan dalam diri manusia. Ia selalu proses yang tak terinterupsi, seringkali menyakitkan dan berdarah dalam menundukkan insting-insting alamiah ke dalam norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih kompleks dan jelas akan aturan, kepastian dan kepresisian yang mana dapat membuat mungkin semakin meningkatnya bentuk-bentuk kehidupan kolektif yang kompleks yang mana adalah konsekuensi yang dibutuhkan dalam perkembangan industrial.”
Tetapi dalam kultur-kultur di mana penetrasi nilai-nilai kapital masih kurang kentara, kebinatangan justru menjadi sesuatu yang direngkuh dengan hati terbuka, bukannya malah dianggap sebagai degradasi. Seorang tetua suku Dogon di Mali, sesuai yang dicatat oleh Museum Horniman (1999) berkata, “Binatang-binatang lebih superior daripada manusia karena mereka menjadi milik semak belukar dan tak perlu bekerja. Banyak binatang yang memenuhi kebutuhan makanannya dengan apa yang oleh manusia ditumbuhkan dengan kerja yang menyakitkan.”
Pada faktanya kehidupan liar memang menyediakan sebuah kritik yang implisit atas masyarakat manusia, sebagai sebuah inspirasi dan sangat kontras dengan masyarakat yang terdomestikasi. Mengesampingkan potret kehidupan sosial binatang sekedar sebagai sebuah perang permanen demi mempertahankan hidup, setiap orang tahu betul bahwa anjing dan kucing (termasuk yang liar sekalipun) mengisi hidupnya hanya dengan bermalas-malasan dan bermain-main apabila tidak sedang makan atau mencari makan.
Sebagaimana yang Fredy Perlman perlihatkan, aktivitas binatang adalah sebuah oposit dari kerja yang teralienasi. Aktivitas manusia dalam masyarakat-masyarakat komunal primitif berlaku sebagai berikut: “sebuah pengatur gerak dan waktu yang mengamati seekor beruang di dekat pohon berry… beruang tak membedakan antara bekerja dan bermain. Apabila sang pengatur waktu memiliki sebuah imajinasi, ia mungkin akan berkata bahwa beruang tersebut mengalami keriangan dari momen di mana buah berry menjadi merah gelap dan tak ada satupun gerak sang beruang yang dapat dibilang sebagai kerja.”
‘Liar’ adalah sebuah istilah peyoratif yang diterapkan pada apapun yang bebas (dan mereka yang berniat untuk menjadi bebas), sebagaimana perempuan yang menolak ditundukkan oleh aturan masyarakat dilabeli perempuan liar. Tetapi apabila kita membalikkan ide tentang keliaran ini sebagai sebuah kebebasan, maka justru itulah yang justru menjadi nilai kebajikan. Lantas juga apabila kita merunut pada Martin Luther saat di tahun 1530 berkata, “kepemilikan properti privat adalah sebuah esensi yang membedakan antara manusia dan binatang” (Keith Thomas) dan menilik ucapan Proudhon bahwa “properti adalah pencurian”, sebagaimana kita kini paham bahwa akibat keberadaan properti privat-lah maka hidup di dunia menjadi sedemikian menyengsarakannya, maka berbahagialah mereka yang dianggap binatang, karena ia hidup lebih murni, alami dan lebih dekat pada kebebasan.
----------------
disadur dari http://timkatalis.blogspot.com
PENYELENGGARAAN OLIMPIADE VANCOUVER TELAH BERAKHIR, TAPI OBORNYA MASIH TETAP MENYALA
Royal Bank Canada adalah sponsor utama dari Olimpiade 2010 yang mencuri lahan masyarakat adat. Lahan ini tidak pernah secara benar-benar legal dilimpahkan ke pemerintah kolonial British Columbia. Hal ini tidak menghentikan pemerintah untuk menganggap kepemilikan penuh dari lahan dan sumberdaya tersebut untuk kepentingan petinggi korporasi dan untuk membuat kerugian bagi masyarakat adat, pekerja dan orang-orang miskin di propinsi ini.
Olimpiade musim dingin 2010 meningkatkan krisis ketunawismaan di Vancouver, terutama di kawasan Downtown Eastside, kawasan urban termiskin di Kanada. Semenjak Olimpiade 2010 ditawarkan di Kanada, jumlah tunawisma di kota Vancouver meningkat tiga kali lipat sementara pembangunan kondominium di kawasan Downtown Eastside jumlahnya melampaui rumah sosial dengan perbandingan 3:1. Lebih jauh lagi kriminalisasi dan pengusiran terhadap mereka yang tinggal di kawasan yang luar biasa miskinnya berlanjut semakin cepat.
Pada brosurnya mereka menyatakan, “Royal Bank Canada adalah salah satu perusahaan paling ramah lingkungan di planet ini.” Coporate Kanada memandang tidaklah bermasalah untuk memasukkan RBC sebagai salah satu dari 50 perusahaan terbaik dalam sebuah kompetisi yang diberi nama “Canada’s Greenest Employers”, sebuah kompetisi yang ditujukan uintuk mencari tahu lembaga mana saja yang telah menciptakan, “budaya sadar lingkungan.” Padahal saat ini RBC adalah lembaga keuangan utama dari pertambangan pasir ter, di Alberta, sebuah proyek industri terbesar dalam sejarah manusia dan mungkin yang paling merusak.
Pasir ter, yang sekarang menyebabkan tingkat penggundulan hutan terbesar kedua di planet ini, menunjukan peningkatan beberapa kali lipat dari tingkat produksinya sekarang Pertandingan di Vancouver telah berakhir, tapi perlawanan tetap
berlanjut. Cabang RBC bisa ditemukan di setiap sudut Kanada.
Pada tanggal 25 – 27 Juni 2010, para pemimpin G8/G20 dan para bankir akan bertemu di Huntsville dan Toronto untuk membuat keputusan yang akan melanjutkan kebijakan mereka tentang eksploitasi masyarakat dan lingkungan. Kami akan berada di sana.
Kami menyerahkan obor untuk siapa saja yang hendak melawan mereka yang menginjak hak-hak masyarakat adat, hak-hak kita semua, dan melawan kerusakan yang masih terus berlanjut di planet kita. Kami katakan: sekarang waktunya membakar.
FFFC - Ottawa
Ditullis di sebuah sudut Bank Street and First Avenue.
-------
Info terkait:
http://ottawa.indymedia.org/en/2010/05/11233.shtml
http://mostlywater.org/direct_action_ottawa_rbc_burned_down
Download video manifesto mereka di:
http://www.youtube.com/watch?v=fNGpulnkLvI
disadur dari http://timkatalis.blogspot.com
Read More..
Olimpiade musim dingin 2010 meningkatkan krisis ketunawismaan di Vancouver, terutama di kawasan Downtown Eastside, kawasan urban termiskin di Kanada. Semenjak Olimpiade 2010 ditawarkan di Kanada, jumlah tunawisma di kota Vancouver meningkat tiga kali lipat sementara pembangunan kondominium di kawasan Downtown Eastside jumlahnya melampaui rumah sosial dengan perbandingan 3:1. Lebih jauh lagi kriminalisasi dan pengusiran terhadap mereka yang tinggal di kawasan yang luar biasa miskinnya berlanjut semakin cepat.
Pada brosurnya mereka menyatakan, “Royal Bank Canada adalah salah satu perusahaan paling ramah lingkungan di planet ini.” Coporate Kanada memandang tidaklah bermasalah untuk memasukkan RBC sebagai salah satu dari 50 perusahaan terbaik dalam sebuah kompetisi yang diberi nama “Canada’s Greenest Employers”, sebuah kompetisi yang ditujukan uintuk mencari tahu lembaga mana saja yang telah menciptakan, “budaya sadar lingkungan.” Padahal saat ini RBC adalah lembaga keuangan utama dari pertambangan pasir ter, di Alberta, sebuah proyek industri terbesar dalam sejarah manusia dan mungkin yang paling merusak.
Pasir ter, yang sekarang menyebabkan tingkat penggundulan hutan terbesar kedua di planet ini, menunjukan peningkatan beberapa kali lipat dari tingkat produksinya sekarang Pertandingan di Vancouver telah berakhir, tapi perlawanan tetap
berlanjut. Cabang RBC bisa ditemukan di setiap sudut Kanada.
Pada tanggal 25 – 27 Juni 2010, para pemimpin G8/G20 dan para bankir akan bertemu di Huntsville dan Toronto untuk membuat keputusan yang akan melanjutkan kebijakan mereka tentang eksploitasi masyarakat dan lingkungan. Kami akan berada di sana.
Kami menyerahkan obor untuk siapa saja yang hendak melawan mereka yang menginjak hak-hak masyarakat adat, hak-hak kita semua, dan melawan kerusakan yang masih terus berlanjut di planet kita. Kami katakan: sekarang waktunya membakar.
FFFC - Ottawa
Ditullis di sebuah sudut Bank Street and First Avenue.
-------
Info terkait:
http://ottawa.indymedia.org/en/2010/05/11233.shtml
http://mostlywater.org/direct_action_ottawa_rbc_burned_down
Download video manifesto mereka di:
http://www.youtube.com/watch?v=fNGpulnkLvI
disadur dari http://timkatalis.blogspot.com
kekerasan media
Pada Tahun 2004, di Nigeria puluhan manusia tewas dan banyak gedung – gedung hancur, karena pemberitaan media yang tidak peka, dan justru memperbesar skala konflik. Kasusnya adalah, mayoritas warga Nigeria telah menolak penyelenggaraan Miss World, karena parade parade itu memiliki peserta para perempuan cantik yang hanya mengenakan pakaian renang. Pemerintah Nigeria sendiri sudah setuju, karena kegiatan ini dapat mendorong industri pariwisata Nigeria. Tetapi, ada seorang penulis media yang menulis sebuah artikel di sebuah media massa Amerika Serikat yang berisi kritikan protes terhadap umat Islam di Nigeria tersebut. Di dalam artikelnya itu tertulis, “Seandainya Muhammad masih hidup, mungkin dia akan memilih salah satu atau beberapa kontestan untuk dijadikan istrinya.” Tentu saja, umat Islam kaget dan tersinggung oleh tulisan tersebut. Konflik pun terjadi di Nigeria.
Pada 1993, kota Los Angeles, Amerika Serikat, di porak porandakan oleh penduduk kulit hitam. Salah satu pemicu awal dari konflik ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh polisi Los Angeles terhadap seorang berkulit hitam yang bernama Rodney King. Stasiun berita lokal pun tidak melepas kesempatan ini. Adegan kekerasan tersebut ditayangkan berturut-turut selama seminggu di stasiun televisi. Hal ini menyulut kerusuhan yang bermuara pada kerusuhan besar di kota itu. Siaran televisi lokal tersebut mendorong terciptanya kebencian dan sentimen rasial di Los Angeles.
Hal yang kurang lebih serupa juga terjadi di dalam dunia perfilman. Menurut analisis yang dibuat pada pertengahan 2007 oleh Kajian Komisi Nasional Perlindungan Anak, televisi menjadi salah satu penyumbang terbesar yang menimbulkan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak. Dari 35 judul acara atau film yang ditayangkan di stasiun-stasiun televisi, 62% diantaranya mengedepankan adegan-adegan kekerasan. Spontan, anak-anak yang menyaksikan tayangan tersebut lalu mempraktekkannya di antara mereka, sehingga menciptakan korban kekerasan.
Argumen naif pun dilontarkan oleh para pengelola media besar, yakni bahwa media pada prinsipnya hanya melaporkan apa adanya. Media hanya menyampaikan fakta secara netral, tanpa kepentingan apapun. Apakah memang seperti itu? Faktanya, media bisa memilih satu di antara begitu banyak sudut pandang di dalam menyampaikan berita. Media bisa memilih, apakah ia akan melaporkan pembantaian ratusan orang Madura oleh suku Dayak di Kalimantan, atau memberitakan bahwa walaupun banyak konflik, tetapi kedua suku tersebut masih bisa saling membantu. Dengan kata lain, media tidak pernah netral. Media sebenarnya bisa memilih, apakah ia akan menjadi penyulut api di tengah konflik kekerasan dan diskriminasi, atau menjadi alat pencipta perdamaian, menyuarakan keadilan, dan mencegah kekerasan.
Memang tak bisa dipungkiri lagi, media di Indonesia, baik itu media elektronik maupun cetak, kini dipenuhi berbagai bentuk atraksi kekerasan. Tampaknya, mereka lebih memilih memnjadi penyulut api di tengah konflik untuk mendapatkan keuntungan daripada pencipta perdamaian. Kekerasan tersebut melibatkan kekerasan linguistik dalam bentuk penggunaan kata-kata yang bersifat sarkastik, kekerasan simbolik, kekerasan virtual, sampai pada kekerasan yang dari luar tampak lembut, tetapi di baliknya memiliki cara pandang yang rasistis dan diskriminatif. Kondisi semacam ini memang mengundang sebuah keprihatinan tersendiri, terutama bagi orang-orang yang terkena langsung dampaknya, seperti para orang tua yang kebingungan dengan pola pendidikan anaknya, ataupun para praktisi pendidikan.
Di luar lingkaran orang-orang yang terkena dampak ini, ada sekumpulan besar orang yang tidak peduli, dan sama sekali tidak ingin terlibat. Alasannya sebenarnya jelas, mereka diuntungkan dengan pola kekerasan yang berlangsung di dalam media sekarang ini! Keuntungan ekonomis dan keutungan politis ada di depan mata orang-orang tersebut. Gejala ini memang mengakibatkan terciptanya iklim apatisme publik yang luar biasa besar. Semua bentuk ketidakpedulian dan keengganan seolah menyerbu ruang publik kita. Akibatnya terjauhnya adalah terciptanya individu-individu yang patuh dan mudah dikontrol (docile individual), baik secara politis, maupun diatur oleh produsen di bidang ekonomi.
Read More..
Pada 1993, kota Los Angeles, Amerika Serikat, di porak porandakan oleh penduduk kulit hitam. Salah satu pemicu awal dari konflik ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh polisi Los Angeles terhadap seorang berkulit hitam yang bernama Rodney King. Stasiun berita lokal pun tidak melepas kesempatan ini. Adegan kekerasan tersebut ditayangkan berturut-turut selama seminggu di stasiun televisi. Hal ini menyulut kerusuhan yang bermuara pada kerusuhan besar di kota itu. Siaran televisi lokal tersebut mendorong terciptanya kebencian dan sentimen rasial di Los Angeles.
Hal yang kurang lebih serupa juga terjadi di dalam dunia perfilman. Menurut analisis yang dibuat pada pertengahan 2007 oleh Kajian Komisi Nasional Perlindungan Anak, televisi menjadi salah satu penyumbang terbesar yang menimbulkan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak. Dari 35 judul acara atau film yang ditayangkan di stasiun-stasiun televisi, 62% diantaranya mengedepankan adegan-adegan kekerasan. Spontan, anak-anak yang menyaksikan tayangan tersebut lalu mempraktekkannya di antara mereka, sehingga menciptakan korban kekerasan.
Argumen naif pun dilontarkan oleh para pengelola media besar, yakni bahwa media pada prinsipnya hanya melaporkan apa adanya. Media hanya menyampaikan fakta secara netral, tanpa kepentingan apapun. Apakah memang seperti itu? Faktanya, media bisa memilih satu di antara begitu banyak sudut pandang di dalam menyampaikan berita. Media bisa memilih, apakah ia akan melaporkan pembantaian ratusan orang Madura oleh suku Dayak di Kalimantan, atau memberitakan bahwa walaupun banyak konflik, tetapi kedua suku tersebut masih bisa saling membantu. Dengan kata lain, media tidak pernah netral. Media sebenarnya bisa memilih, apakah ia akan menjadi penyulut api di tengah konflik kekerasan dan diskriminasi, atau menjadi alat pencipta perdamaian, menyuarakan keadilan, dan mencegah kekerasan.
Memang tak bisa dipungkiri lagi, media di Indonesia, baik itu media elektronik maupun cetak, kini dipenuhi berbagai bentuk atraksi kekerasan. Tampaknya, mereka lebih memilih memnjadi penyulut api di tengah konflik untuk mendapatkan keuntungan daripada pencipta perdamaian. Kekerasan tersebut melibatkan kekerasan linguistik dalam bentuk penggunaan kata-kata yang bersifat sarkastik, kekerasan simbolik, kekerasan virtual, sampai pada kekerasan yang dari luar tampak lembut, tetapi di baliknya memiliki cara pandang yang rasistis dan diskriminatif. Kondisi semacam ini memang mengundang sebuah keprihatinan tersendiri, terutama bagi orang-orang yang terkena langsung dampaknya, seperti para orang tua yang kebingungan dengan pola pendidikan anaknya, ataupun para praktisi pendidikan.
Di luar lingkaran orang-orang yang terkena dampak ini, ada sekumpulan besar orang yang tidak peduli, dan sama sekali tidak ingin terlibat. Alasannya sebenarnya jelas, mereka diuntungkan dengan pola kekerasan yang berlangsung di dalam media sekarang ini! Keuntungan ekonomis dan keutungan politis ada di depan mata orang-orang tersebut. Gejala ini memang mengakibatkan terciptanya iklim apatisme publik yang luar biasa besar. Semua bentuk ketidakpedulian dan keengganan seolah menyerbu ruang publik kita. Akibatnya terjauhnya adalah terciptanya individu-individu yang patuh dan mudah dikontrol (docile individual), baik secara politis, maupun diatur oleh produsen di bidang ekonomi.
Mustahilnya Tuhan
Sebelumnya saya ingin memberitahukan, bahwa artikel ini disadur dari blog lain, yaitu http://anarchoi.gudbug.com . Dikarenakan Artikel ini sangat memikat untuk dibaca, saya menulisaknnya disini, semoga pembaca merasa senang untuk membacanya sebagai pertimbangan, dan jangan ditelan mentah - mentah. Ini adalah sebuah wacana, bukan acuan hidup atau ajakan untuk melakukannya.
BANYAK dari yang dilakukan orang, dilakukan atas nama Tuhan. Orang Irlandia marah kepada satu sama lain atas nama Tuhan. Orang Arab mengutuki dirinya sendiri atas nama Tuhan. Para imam dan ayatollah menindas perempuan atas nama Tuhan. Para paus dan pendeta yang hidup membujang mengacaukan kehidupan seks orang lain atas nama Tuhan. Para shohet Yahudi memotong tenggorokan binatang-binatang hidup atas nama Tuhan. Prestasi agama dalam sejarah masa lalu—perang-perang berdarah, inkuisisi yang penuh penyiksaan, para penakluk yang melakukan pembunuhan massal, para misionaris yang menghancurkan kebudayaan, perlawanan hingga detik terakhir yang diperkuat secara hukum terhadap setiap keping baru kebenaran ilmiah—bahkan lebih mengesankan.
Dan apa manfaat dari itu semua? Saya yakin bahwa kini menjadi semakin jelas, jawabannya: tidak ada samasekali. Tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa semacam apapun dari Tuhan itu eksis, dan justru ada alasan yang sangat kuat untuk meyakini bahwa Tuhan-Tuhan itu tidak eksis, dan tak pernah eksis. Segala macam kepercayaan tentang Tuhan itu merupakan penyia-nyiaan waktu yang sangat besar, bahkan penyia-nyiaan hidup. Kepercayaan itu hanya akan menjadi lelucon dengan proporsi kosmis, kalau bukan malah sangat tragis.
Mengapa orang percaya Tuhan? Bagi kebanyakan orang, jawabannya tetap adalah suatu versi kuno dari Argumen berdasarkan Bentuk-Rancang. Kita melihat di sekitar kita adanya keindahan dan seluk-beluk dunia — adanya sayap burung layang-layang yang aerodinamis, adanya keindahan bunga-bunga dan kupu-kupu yang menyuburkannya, lewat sebuah mikroskop kita melihat begitu padatnya kehidupan dalam setiap tetes air kolam, lewat sebuah teleskop kita melihat pucuk sebuah pohon redwood raksasa. Kita berefleksi pada kompleksitas elektronik dan kesempurnaan optik dari mata kita sendiri yang melakukan aktivitas melihat. Jika kita punya imajinasi apapun, maka hal-hal ini mendorong kita pada suatu perasaan terpesona dan keta’ziman. Terlebih lagi, kita tidak bisa mengelak dari fakta adanya kemiripan yang nyata pada organ-organ hidup, hingga kita harus mengakui adanya bentuk-rancang yang direncanakan dengan sangat cermat oleh perekayasa manusia. Argumen ini paling masyhur diungkapkan dalam analogi tentang pembuat arloji oleh pendeta abad ke delapanbelas, William Paley. Kendati anda tidak tahu apa itu arloji, namun sifat dari gigi-gigi roda dan pegas-pegasnya yang jelas dirancang—dan cara bagaimana elemen-elemen itu ditautkan—untuk satu tujuan tertentu akan memaksa anda untuk menyimpulkan bahwa “arloji itu pasti ada pembuatnya: bahwa pastilah pernah ada pada suatu waktu, dan di tempat tertentu ataupun kondisi lainnya, satu pencipta dari segala pencipta, yang membentuknya untuk tujuan tertentu, hal mana kita benar-benar mendapatkan sesuatu untuk menjawab pertanyaan siapa yang mengerti konstruksinya dan merancang kegunaannya.” Jika ini benar berlaku untuk sebuah arloji yang sederhana, bukankah ia makin benar berlaku untuk mata, telinga, ginjal, sendi siku, otak? Struktur-struktur yang indah, rumit, sangat berlika-liku, dan jelas-jelas dibuat untuk tujuan tertentu ini pastilah memiliki perancangnya sendiri, pembuat arlojinya sendiri — Tuhan.
Begitulah argumen Paley; dan ini adalah sebuah argumen yang mana hampir semua orang yang berpikir dan sensitif menemuinya pada suatu saat tertentu dari masa kanak-kanak mereka. Di sepanjang sebagian besar sejarah, argumen Paley ini pastilah dianggap sangat meyakinkan, dianggap oleh diri sendiri sebagai terbukti benar. Namun demikian, sebagai hasil dari salah satu revolusi intelektual yang paling menakjubkan dalam sejarah, kini kita tahu bahwa hal itu salah, atau setidaknya berlebihan. Kini kita mengetahui bahwa tatanan dan tujuan nyata dari dunia hidup telah muncul melalui sebuah proses yang samasekali berbeda, sebuah proses yang berlangsung tanpa perlu adanya perancang macam apapun, dan sebuah proses yang merupakan konsekuensi dari hukum-hukum fisika yang pada dasarnya sangatlah sederhana. Ini adalah proses evolusi dengan seleksi alam yang telah diungkap oleh Charles Darwin, dan secara terpisah juga oleh Alfred Russel Wallace.
Apa yang sama dimiliki oleh semua benda yang nampak seolah pasti memiliki satu perancang itu? Jawabannya adalah kemustahilan statistik. Jika kita mendapati sebuah batu koral transparan yang digerus oleh air laut hingga menjadi sebentuk lensa kasar, kita tidak akan menyimpulkan bahwa ia pasti telah dirancang oleh seorang ahli optik: hukum-hukum fisika yang tak mendapat intervensi apapun mampu mencapai hasil sedemikian itu; bukanlah terlalu mustahil untuk mendapatinya telah “begitu saja terjadi”. Tetapi, kalau kita menemukan sebuah lensa gabungan yang terperinci, yang telah teratur sangat teliti untuk mencegah terjadinya penyimpangan bentuk lingkaran dan kromatis, telah dilapisi untuk mencegah kesilauan, dan ada tulisan “Carl Zeiss” yang dibubuhkan di tepi lingkarannya, maka kita tahu bahwa benda itu tak mungkin begitu saja terwujud secara kebetulan. Jika anda mengambil semua atom dari sebuah lensa gabungan seperti itu, di bawah pengaruh gaya aksi-reaksi hukum-hukum fisika alam yang biasa, maka secara teoritis adalah mungkin bahwa, dengan keberuntungan belaka, atom-atom tersebut akan begitu saja tiba dalam pola lensa gabungan tipe Zeiss, bahkan bisa saja atom-atom tersebut membentuk lingkaran sedemikian rupa sehingga nama Carl Zeiss pun tertorehkan. Akan tetapi, jumlah cara-cara lain yang dengan itu atom-atom tersebut bisa—dengan peluang yang setara—tersusun adalah begitu banyak, sangat luas, tak terhitung banyaknya hingga kita bisa samasekali mengabaikan hipotesis peluang. Peluang adalah di luar pembahasan sebagai sebuah penjelasan.
Ngomong-ngomong, ini bukanlah argumen yang tak berujung-pangkal. Ini barangkali nampak tak berujung-pangkal karena, bisa dikatakan, susunan partikular apapun dari atom-atom adalah—jika ditinjau ke belakang—sangat mustahil. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ketika sebuah bola mendarat di atas sehelai rumput tertentu di lapangan golf, maka adalah bodoh bila kita menyatakan: “Dari jutaan helai rumput di atas mana bola itu bisa jatuh, sebenarnya bola itu memang akan jatuh ke atas rumput yang satu ini. Luarbiasa mustahil!” Sesat-fikir-nya di sini, tentu saja ialah, bahwa bola itu (dikatakan) harus mendarat di suatu tempat. Kita hanya bisa takjub pada kejadian yang seharusnya mustahil terjadi, jika kita terlebih dahulu telah mengkhususkannya: sebagai contoh, jika seseorang yang matanya ditutup rapat berjalan memutari tee , kemudian memukul bola itu secara sembarang dan mampu mencapai hole in one , itu baru benar-benar menakjubkan, karena sasaran yang dituju bola telah dikhususkan sebelumnya.
Dari trilyunan cara berbeda untuk menyusun atom-atom dari sebuah teleskop, hanya suatu minoritas yang benar-benar akan berfungsi dalam suatu cara yang berguna. Hanya suatu minoritas kecil yang akan mengukir kata Carl Zeiss di atas lensanya, atau kata-kata apapun yang bisa dikenali dari bahasa manusia manapun. Hal yang sama juga berlaku untuk bagian-bagian dari sebuah arloji: dari milyaran cara yang mungkin untuk menyusun elemen-elemen itu menjadi satu, hanya suatu minoritas kecil yang akan menunjukkan waktu atau melakukan apapun yang berguna. Dan tentu saja hal yang sama berlaku, secara a fortiori, untuk bagian-bagian sebuah badan yang hidup. Dari trilyunan cara untuk menyusun bagian-bagian dari sebuah badan, hanya minoritas sangat kecil yang akan hidup, mencari makanan dan ber-reproduksi. Benar bahwa memang ada banyak cara berbeda untuk hidup—setidaknya ada sepuluh juta cara berbeda bila kita menghitung jumlah spesies tersendiri yang hidup sekarang ini—tetapi, betapapun banyaknya cara yang mungkin untuk hidup, yang pasti ialah bahwa ada jauh lebih banyak cara untuk mati!
Kita bisa dengan aman menyimpulkan bahwa benda-benda hidup adalah milyaran kali terlalu rumit—secara statistik terlalu mustahil—untuk muncul ke keberadaan secara kebetulan belaka. Lantas, bagaimana benda-benda hidup itu muncul ke keberadaan? Jawabannya ialah, bahwa peluang memang masuk ke dalam cerita, tetapi bukan satu babak peluang yang tunggal, monolitik. Bukan itu, melainkan keseluruhan rangkaian langkah peluang yang kecil, masing-masingnya cukup kecil untuk menjadi produk yang bisa dipercaya dari pendahulunya, yang terjadi satu per satu secara berurutan. Langkah-langkah peluang yang kecil ini disebabkan oleh mutasi-mutasi genetik, perubahan-perubahan acak—sungguh merupakan kesalahan-kesalahan—dalam materi genetik. Hal-hal tersebut memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur jasmaniah yang kini ada. Sebagian besar dari perubahan-perubahan ini bersifat merugikan dan menggiring pada kematian. Suatu minoritas di antaranya berubah hingga mengalami penyempurnaan-penyempurnaan kecil, yang menggiring pada daya tahan hidup serta reproduksi yang meningkat. Dengan proses seleksi alam ini, perubahan-perubahan acak yang jadi menguntungkan itu pada akhirnya menyebar lewat spesies dan menjadi norma. Tahapan pun kemudian tersetel untuk perubahan kecil berikutnya dalam proses evolusioner. Setelah, katakanlah, seribuan dari perubahan-perubahan kecil dalam rangkaian ini, yang mana masing-masing perubahan menyediakan basis bagi perubahan berikutnya, maka hasil akhirnya telah jadi—lewat sebuah proses akumulasi—terlalu kompleks untuk bisa muncul dalam sebuah babak peluang yang tunggal.
Sebagai contoh, secara teoritis adalah mungkin bagi sebuah mata untuk muncul ke keberadaan—dalam satu langkah tunggal yang beruntung—dari kondisi semula yang tidak ada apa-apa: katakanlah hanya dari kulit saja. Ini secara teoritis mungkin dalam arti bahwa, sebuah formula bisa saja dituliskan dalam bentuk sejumlah besar mutasi. Apabila semua mutasi ini terjadi secara serentak, maka sungguh sebuah mata yang sempurna bisa muncul dari kondisi semula yang tidak ada apa-apa. Tetapi, meski secara teoritis mungkin, namun hal ini dalam prakteknya tak terbayangkan. Kuantitas faktor keberuntungan yang terlibat terlalu besar. Formula yang “tepat” melibatkan perubahan-perubahan dalam sejumlah sangat besar gen-gen secara serentak. Formula yang tepat adalah satu kombinasi tertentu perubahan-perubahan dari trilyunan kombinasi peluang yang setara kemungkinannya. Kita tentu saja bisa tidak mengakui kebetulan yang ajaib seperti itu. Akan tetapi, sangat masuk akal bahwa mata moderen bisajadi terwujud dari sesuatu yang hampir sama dengan mata moderen, namun tidak persis sama: sebuah mata yang sedikit sekali kurang-terperincinya [dibandingkan mata moderen]. Dengan argumen yang sama, mata yang sedikit sekali kurang-terperincinya ini juga terwujud dari sebuah mata sebelumnya yang sedikit sekali kurang-terperincinya, dan begitu seterusnya. Jika anda mengasumsikan suatu jumlah yang cukup besar dari perbedaan-perbedaan yang cukup kecil di antara masing-masing tahap evolusioner dan pendahulunya, maka anda—mau tidak mau—harus mengakui bahwa sebuah mata moderen yang sempurna bisa berasal dari kulit melulu. Ada berapa banyak tahap-antara yang bisa kita dalilkan? Itu tergantung pada berapa panjang rentang waktu yang harus kita bahas. Apakah ada cukup banyak waktu bagi mata untuk berevolusi dengan langkah-langkah kecil dari kondisi semula yang tidak ada apa-apa?
Fosil-fosil menunjukkan kepada kita bahwa kehidupan telah dan sedang berevolusi di bumi ini selama lebih dari 3.000 juta tahun. Nyaris mustahil bagi pikiran manusia untuk menjangkau panjangnya rentang waktu seperti itu. Kita, secara alami dan untungnya memang seperti ini, cenderung melihat masa hidup kita yang kita harapkan sendiri sebagai suatu masa yang cukup panjang, tetapi kita jelas tidak bisa berharap untuk hidup sampai satu abad. Kini telah 2.000 tahun berlalu sejak masa Yesus hidup — suatu rentang waktu yang cukup panjang untuk mengaburkan garis pemisah antara sejarah dan mitos. Bisakah anda membayangkan satu juta periode waktu seperti itu sejak pangkal hingga ujungnya? Misalkan kita ingin menulis keseluruhan sejarah di atas sebuah gulungan kertas tunggal yang panjang. Jika kita menjejalkan seluruh sejarah Common Era dalam gulungan kertas sepanjang satu meter, berapa panjang bagian pra-Common Era di gulungan itu? Lalu masa permulaan evolusi, berapa panjang? Jawabannya ialah, bahwa bagian pra-Common Era di gulungan itu akan membentang dari Milan ke Moskow. Pikirkanlah implikasi-implikasi dari hal ini terhadap kuantitas perubahan evolusioner yang bisa diakomodir. Semua keturunan domestik anjing—peking, pudel, spaniel, Saint Bernard dan chihuahua—berasal dari srigala dalam suatu rentang waktu yang diukur dalam ratusan atau paling banter ribuan tahun: tak lebih dari dua meter sepanjang jalan dari Milan ke Moskow. Pikirkanlah kuantitas perubahan yang terlibat dalam proses beranjak dari seekor srigala menjadi seekor anjing peking; kemudian kalikan kuantitas itu dengan satu juta. Kalau anda memandangnya seperti itu, maka mudahlah untuk mempercayai bahwa sebuah mata bisajadi telah berevolusi dari tidak ada mata, dengan tingkat-tingkat yang kecil.
Tetaplah saja perlu kiranya memuaskan rasa ingin tahu kita bahwa setiap orang di masa-masa antara dalam jalur evolusioner, katakanlah dari hanya kulit menjadi sebuah mata moderen, telah diuntungkan oleh seleksi alam; bisajadi berupa suatu penyempurnaan dari pendahulunya dalam deretan itu, atau, setidaknya, bentuk yang mampu bertahan. Tidaklah baik kiranya berupaya membuktikan kepada diri kita bahwa, secara teoritis ada sebuah mata rantai dari masa-masa antara yang nyaris jelas, yang menggiring pada sebuah mata, jika banyak dari masa-masa antara itu bisa saja telah mati. Kadang-kadang ada yang berargumen bahwa bagian-bagian dari sebuah mata harus ada lengkap semuanya, atau, jika tidak, maka mata itu samasekali tidak bisa berfungsi. Sebelah mata, lanjut argumen itu, tidaklah lebih baik daripada tidak ada mata samasekali. Anda tidak bisa terbang hanya dengan sebelah sayap; anda tidak bisa mendengar hanya dengan sebelah telinga. Karenanya, tak mungkin ada serangkaian masa-antara setahap demi setahap yang menggiring pada terwujudnya sebuah mata, sayap ataupun telinga moderen.
Tipe argumen seperti ini begitu naifnya, hingga orang hanya bisa penasaran dalam dorongan bawah-sadar untuk mempercayainya. Jelas tidaklah benar bahwa sebelah mata itu tidak berguna. Para penderita katarak, yang lensa-lensa matanya telah diangkat lewat operasi, tidak bisa melihat dengan baik tanpa kacamata, tapi nasib mereka jauh lebih baik ketimbang orang yang tidak punya mata samasekali. Tanpa sebuah lensa, anda tidak bisa memfokuskan penglihatan pada suatu sosok yang detil, namun anda bisa menghindar untuk tidak menabrak rintangan-rintangan dan bisa mendeteksi bayangan sesosok predator yang sedang melintas.
Adapun argumen bahwa anda tidak bisa terbang dengan hanya sebelah sayap, ini disangkal oleh sejumlah besar hewan peluncur yang sangat sukses, termasuk mamalia dari banyak jenis berbeda, kadal, katak, ular dan cumi-cumi. Banyak jenis berbeda dari hewan penghuni pohon memiliki kepak kulit di antara sendi-sendinya yang betul-betul merupakan sayap fraksional. Jika anda terjatuh dari sebuah pohon, maka kepak kulit atau bagian datar dari tubuh yang meningkatkan luas daerah permukaan anda bisa menyelamatkan nyawa anda. Dan, betapapun kecil atau besarnya kepak anda, pasti akan selalu ada ketinggian kritis sedemikian rupa hingga jika anda terjatuh dari sebuah pohon dengan ketinggian seperti itu, maka nyawa anda akan terselamatkan hanya dengan daerah permukaan yang sedikit lebih luas. Lalu, ketika anak-keturunan anda telah meng-evolusi-kan daerah permukaan tambahan itu, maka nyawa mereka akan terselamatkan hanya oleh sedikit perluasan daerah permukaan lagi apabila mereka terjatuh dari pohon yang agak lebih tinggi. Dan begitu seterusnya, lewat langkah-langkah bertahap yang tak terbayangkan sampai ratusan generasi berikutnya, kita sampai pada sayap yang lengkap (sempurna).
Mata dan sayap tidak bisa muncul ke keberadaan dengan sebuah langkah tunggal. Itu akan sama saja dengan tak terhingganya keberuntungan untuk bisa memutar kombinasi angka yang membuka sebuah lemari besi besar di bank. Tetapi jika anda memutar angka-angka kunci secara acak, dan setiap kali anda tiba sedikit lebih mendekati angka keberuntungan itu, celah pintu pun terbuka sedikit demi sedikit, maka anda akan segera mendapati pintu lemari besi itu terbuka! Secara esensial, itulah rahasia bagaimana evolusi oleh seleksi alam bisa mencapai apa yang dahulu nampak mustahil. Hal-hal yang secara masuk akal tidak mungkin berasal dari para pendahulu yang sangat berbeda, bisa secara masuk akal berasal dari pendahulu-pendahulu yang hanya sedikit berbeda. Jika saja ada serangkaian cukup panjang pendahulu-pendahulu yang hanya sedikit berbeda seperti itu, maka anda bisa menelusuri asal apapun dari apapun lainnya.
Lantas, evolusi secara teoritis mampu melakukan pekerjaan yang, pada suatu ketika dahulu, nampaknya hanya merupakan kewenangan mutlak Tuhan. Akan tetapi, apakah ada bukti bahwa evolusi benar-benar telah terjadi? Jawabannya adalah ya; buktinya sangat berlimpah. Jutaan fosil ditemukan di tempat-tempat serta kedalaman-kedalaman persis seperti yang kita perkirakan apabila evolusi benar telah terjadi. Tak ada satupun fosil pernah ditemukan di tempat yang mana teori evolusi tidak memperkirakannya, meski hal ini bisa saja dengan sangat mudah terjadi: sebuah fosil mamalia di bebatuan karang yang begitu tuanya sampai-sampai ikan pun belum tiba, misalnya, sudah cukup untuk menggugurkan teori evolusi.
Pola-pola persebaran hewan dan tumbuhan hidup di benua-benua dan kepulauan-kepulauan dunia adalah tepat seperti yang diperkirakan apabila mereka berevolusi dari nenek moyang yang sama dengan tingkat-tingkat yang lambat dan perlahan. Pola-pola kemiripan di kalangan hewan dan tumbuhan adalah tepat seperti yang kita perkirakan apabila beberapa diantaranya merupakan kerabat dekat, dan beberapa lainnya merupakan kerabat jauh satu sama lain. Fakta bahwa kode genetik adalah sama pada semua mahluk hidup, sungguh menunjukkan bahwa semuanya diturunkan dari satu nenek moyang tunggal. Bukti untuk evolusi begitu kuat, sehingga satu-satunya cara untuk menyelamatkan teori penciptaan adalah dengan mengasumsikan bahwa Tuhan telah dengan sengaja menanamkan sejumlah besar bukti untuk membuatnya nampak seolah-olah evolusi telah terjadi. Dengan kata lain, fosil-fosil, persebaran geografis hewan, dan sebagainya, semua itu adalah satu trik keyakinan yang maha besar. Apakah orang mau menyembah suatu Tuhan yang mampu memainkan trik seperti itu? Tentu saja jauh lebih terhormat, juga secara ilmiah jauh lebih masuk akal, bila kita menerima segala bukti yang ada. Semua mahluk hidup adalah kerabat dari satu sama lain, dan diturunkan dari satu nenek moyang jauh yang hidup lebih dari 3.000 juta tahun yang lalu.
Dengan demikian, Argumen berdasarkan Bentuk-Rancang pun gugur sebagai sebuah alasan untuk mempercayai adanya suatu Tuhan. Adakah argumen lainnya? Beberapa orang percaya akan Tuhan dikarenakan apa yang nampak bagi mereka sebagai pewahyuan yang bersifat pribadi. Wahyu-wahyu seperti itu tidak selalu mendatangkan manfaat, tapi tak ragu lagi terasa nyata bagi individu yang meyakininya. Banyak penghuni rumah sakit jiwa yang memiliki keyakinan pribadi yang tak tergoyahkan bahwa dirinya adalah Napoleon, atau bahkan Tuhan itu sendiri. Tak ragu lagi bahwa keyakinan seperti itu punya kekuatan sangat dahsyat bagi mereka yang memilikinya, namun ini bukanlah alasan bagi orang-orang lain di antara kita untuk mempercayainya. Sesungguhnya, karena kepercayaan-kepercayaan seperti itu bertentangan satu sama lain, maka kita tidak bisa mempercayainya sama sekali.
Ada sedikit lagi yang perlu disampaikan disini. Evolusi melalui seleksi alam menjelaskan banyak hal, namun evolusi ini tidak bisa mulai terjadi dari kondisi semula yang tidak ada apa-apa. Evolusi tidak bisa mulai sampai ada semacam reproduksi dan hereditas elementer. Hereditas moderen didasarkan atas kode DNA, yang ini sendiri terlalu rumit untuk muncul secara spontan ke keberadaan lewat sebuah aktivitas tunggal yang bersifat kebetulan. Nampaknya ini berarti bahwa pasti telah ada suatu sistem hereditas terdahulu—kini telah sirna—yang pada waktu itu cukup sederhana untuk muncul secara kebetulan, dan hukum-hukum kimia yang menyediakan medium di mana suatu bentuk primitif seleksi alam kumulatif bisa mulai berlangsung. DNA adalah produk berikutnya dari seleksi kumulatif yang terdahulu ini. Sebelum sebentuk seleksi alam awal ini, ada suatu periode ketika campuran-campuran kimiawi yang kompleks tersusun dari campuran-campuran yang lebih sederhana, dan sebelum itu ada suatu periode ketika unsur-unsur kimiawi tersusun dari unsur-unsur yang lebih sederhana, mengikuti hukum-hukum fisika yang secara umum sudah sangat dipahami. Sebelum itu, pada akhirnya segala sesuatu tersusun dari hidrogen murni sebagai akibat segera dari dentuman besar, yang telah memulakan alam semesta.
Ada godaan untuk berargumen bahwa, meski Tuhan mungkin tidak diperlukan untuk menjelaskan evolusi tatanan kompleks yang mana alam semesta—dengan hukum-hukum fisikanya yang fundamental—suatu ketika dulu telah mulai, namun kita memerlukan suatu Tuhan untuk menjelaskan asal-usul segala sesuatu. Ide ini tidaklah menghasilkan Tuhan dengan banyak hal yang dilakukan-Nya: hanya menyetel dentuman besar, kemudian duduk santai menunggu segalanya terjadi. Ahli kimia fisikal, Peter Atkins, dalam bukunya yang ditulis dengan indah, Penciptaan, mendalilkan adanya suatu Tuhan pemalas yang berupaya keras untuk melakukan sesedikit mungkin kerja agar bisa memulakan segala sesuatu. Atkins menjelaskan bagaimana setiap langkah dalam sejarah alam semesta merupakan lanjutan—dengan hukum fisika yang sederhana—dari langkah pendahulunya. Maka, Atkins pun mengupas jumlah kerja yang akan perlu dilakukan si pencipta yang malas ini, dan akhirnya menyimpulkan bahwa si pencipta ini pada kenyataannya tidak perlu melakukan apa-apa samasekali!
Detil-detil fase awal alam semesta merupakan bagian dari dunia ilmu fisika, sedangkan saya adalah seorang ahli biologi, lebih memusatkan perhatian pada fase-fase berikutnya dari evolusi kompleksitas. Bagi saya, poin pentingnya ialah bahwa, kendatipun ahli fisika perlu mendalilkan suatu titik minimum yang tak bisa dibagi lagi, yang harus hadir pada permulaan agar alam semesta bisa mulai, namun titik minimum itu tentu saja sangat sederhana. Secara pengertian dasar (definisi), penjelasan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang sederhana adalah lebih masuk akal serta lebih memuaskan ketimbang penjelasan yang harus mendalilkan permulaan-permulaan yang kompleks dan secara statistik tidak mungkin. Dan anda tidak bisa mendapatkan yang jauh lebih kompleks selain suatu Tuhan Yang Maha Kuasa!
Richard Dawkins adalah seorang profesor di Universitas Oxford untuk kajian Pemahaman Publik tentang Sains. Dia adalah penulis buku Si Buta Pembuat Arloji (sebagian dari artikel ini didasarkan atas isi buku tersebut) dan Mendaki Puncak yang Mustahil. Dia adalah editor senior pada jurnal Free Inquiry.
Karya-karya Dawkins antara lain adalah “The Blind Watchmaker” dan “The Selfish Gene” (yang merupakan bestseller internasional yang diterbitkan dalam 13 bahasa). Dalam bidang evolusioner biologi, Dawkins merupakan ilmuwan yang diakui telah memberikan sumbangan besar dalam biologi sosial- pada telaah-telaah yang berkaitan dengan teori genetis mengenai seleksi alam (natural selection). Dawkins juga dikenal sebagai “tokoh” yang memberikan sumbangan signifikan dalam wacana sains/agama – dalam tulisan-tulisan populernya, acara-acara televisi dan debat-debat. Selain itu, Dawkins merupakan salah satu kontributor tetap pada Free Inquiry, buletin yang diterbitkan oleh Secular Humanism (www.secularhumanism.org/), sebuah organisasi yang memperjuangkan sekularisme.
Webmaster@SecularHumanism.org
Read More..
BANYAK dari yang dilakukan orang, dilakukan atas nama Tuhan. Orang Irlandia marah kepada satu sama lain atas nama Tuhan. Orang Arab mengutuki dirinya sendiri atas nama Tuhan. Para imam dan ayatollah menindas perempuan atas nama Tuhan. Para paus dan pendeta yang hidup membujang mengacaukan kehidupan seks orang lain atas nama Tuhan. Para shohet Yahudi memotong tenggorokan binatang-binatang hidup atas nama Tuhan. Prestasi agama dalam sejarah masa lalu—perang-perang berdarah, inkuisisi yang penuh penyiksaan, para penakluk yang melakukan pembunuhan massal, para misionaris yang menghancurkan kebudayaan, perlawanan hingga detik terakhir yang diperkuat secara hukum terhadap setiap keping baru kebenaran ilmiah—bahkan lebih mengesankan.
Dan apa manfaat dari itu semua? Saya yakin bahwa kini menjadi semakin jelas, jawabannya: tidak ada samasekali. Tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa semacam apapun dari Tuhan itu eksis, dan justru ada alasan yang sangat kuat untuk meyakini bahwa Tuhan-Tuhan itu tidak eksis, dan tak pernah eksis. Segala macam kepercayaan tentang Tuhan itu merupakan penyia-nyiaan waktu yang sangat besar, bahkan penyia-nyiaan hidup. Kepercayaan itu hanya akan menjadi lelucon dengan proporsi kosmis, kalau bukan malah sangat tragis.
Mengapa orang percaya Tuhan? Bagi kebanyakan orang, jawabannya tetap adalah suatu versi kuno dari Argumen berdasarkan Bentuk-Rancang. Kita melihat di sekitar kita adanya keindahan dan seluk-beluk dunia — adanya sayap burung layang-layang yang aerodinamis, adanya keindahan bunga-bunga dan kupu-kupu yang menyuburkannya, lewat sebuah mikroskop kita melihat begitu padatnya kehidupan dalam setiap tetes air kolam, lewat sebuah teleskop kita melihat pucuk sebuah pohon redwood raksasa. Kita berefleksi pada kompleksitas elektronik dan kesempurnaan optik dari mata kita sendiri yang melakukan aktivitas melihat. Jika kita punya imajinasi apapun, maka hal-hal ini mendorong kita pada suatu perasaan terpesona dan keta’ziman. Terlebih lagi, kita tidak bisa mengelak dari fakta adanya kemiripan yang nyata pada organ-organ hidup, hingga kita harus mengakui adanya bentuk-rancang yang direncanakan dengan sangat cermat oleh perekayasa manusia. Argumen ini paling masyhur diungkapkan dalam analogi tentang pembuat arloji oleh pendeta abad ke delapanbelas, William Paley. Kendati anda tidak tahu apa itu arloji, namun sifat dari gigi-gigi roda dan pegas-pegasnya yang jelas dirancang—dan cara bagaimana elemen-elemen itu ditautkan—untuk satu tujuan tertentu akan memaksa anda untuk menyimpulkan bahwa “arloji itu pasti ada pembuatnya: bahwa pastilah pernah ada pada suatu waktu, dan di tempat tertentu ataupun kondisi lainnya, satu pencipta dari segala pencipta, yang membentuknya untuk tujuan tertentu, hal mana kita benar-benar mendapatkan sesuatu untuk menjawab pertanyaan siapa yang mengerti konstruksinya dan merancang kegunaannya.” Jika ini benar berlaku untuk sebuah arloji yang sederhana, bukankah ia makin benar berlaku untuk mata, telinga, ginjal, sendi siku, otak? Struktur-struktur yang indah, rumit, sangat berlika-liku, dan jelas-jelas dibuat untuk tujuan tertentu ini pastilah memiliki perancangnya sendiri, pembuat arlojinya sendiri — Tuhan.
Begitulah argumen Paley; dan ini adalah sebuah argumen yang mana hampir semua orang yang berpikir dan sensitif menemuinya pada suatu saat tertentu dari masa kanak-kanak mereka. Di sepanjang sebagian besar sejarah, argumen Paley ini pastilah dianggap sangat meyakinkan, dianggap oleh diri sendiri sebagai terbukti benar. Namun demikian, sebagai hasil dari salah satu revolusi intelektual yang paling menakjubkan dalam sejarah, kini kita tahu bahwa hal itu salah, atau setidaknya berlebihan. Kini kita mengetahui bahwa tatanan dan tujuan nyata dari dunia hidup telah muncul melalui sebuah proses yang samasekali berbeda, sebuah proses yang berlangsung tanpa perlu adanya perancang macam apapun, dan sebuah proses yang merupakan konsekuensi dari hukum-hukum fisika yang pada dasarnya sangatlah sederhana. Ini adalah proses evolusi dengan seleksi alam yang telah diungkap oleh Charles Darwin, dan secara terpisah juga oleh Alfred Russel Wallace.
Apa yang sama dimiliki oleh semua benda yang nampak seolah pasti memiliki satu perancang itu? Jawabannya adalah kemustahilan statistik. Jika kita mendapati sebuah batu koral transparan yang digerus oleh air laut hingga menjadi sebentuk lensa kasar, kita tidak akan menyimpulkan bahwa ia pasti telah dirancang oleh seorang ahli optik: hukum-hukum fisika yang tak mendapat intervensi apapun mampu mencapai hasil sedemikian itu; bukanlah terlalu mustahil untuk mendapatinya telah “begitu saja terjadi”. Tetapi, kalau kita menemukan sebuah lensa gabungan yang terperinci, yang telah teratur sangat teliti untuk mencegah terjadinya penyimpangan bentuk lingkaran dan kromatis, telah dilapisi untuk mencegah kesilauan, dan ada tulisan “Carl Zeiss” yang dibubuhkan di tepi lingkarannya, maka kita tahu bahwa benda itu tak mungkin begitu saja terwujud secara kebetulan. Jika anda mengambil semua atom dari sebuah lensa gabungan seperti itu, di bawah pengaruh gaya aksi-reaksi hukum-hukum fisika alam yang biasa, maka secara teoritis adalah mungkin bahwa, dengan keberuntungan belaka, atom-atom tersebut akan begitu saja tiba dalam pola lensa gabungan tipe Zeiss, bahkan bisa saja atom-atom tersebut membentuk lingkaran sedemikian rupa sehingga nama Carl Zeiss pun tertorehkan. Akan tetapi, jumlah cara-cara lain yang dengan itu atom-atom tersebut bisa—dengan peluang yang setara—tersusun adalah begitu banyak, sangat luas, tak terhitung banyaknya hingga kita bisa samasekali mengabaikan hipotesis peluang. Peluang adalah di luar pembahasan sebagai sebuah penjelasan.
Ngomong-ngomong, ini bukanlah argumen yang tak berujung-pangkal. Ini barangkali nampak tak berujung-pangkal karena, bisa dikatakan, susunan partikular apapun dari atom-atom adalah—jika ditinjau ke belakang—sangat mustahil. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ketika sebuah bola mendarat di atas sehelai rumput tertentu di lapangan golf, maka adalah bodoh bila kita menyatakan: “Dari jutaan helai rumput di atas mana bola itu bisa jatuh, sebenarnya bola itu memang akan jatuh ke atas rumput yang satu ini. Luarbiasa mustahil!” Sesat-fikir-nya di sini, tentu saja ialah, bahwa bola itu (dikatakan) harus mendarat di suatu tempat. Kita hanya bisa takjub pada kejadian yang seharusnya mustahil terjadi, jika kita terlebih dahulu telah mengkhususkannya: sebagai contoh, jika seseorang yang matanya ditutup rapat berjalan memutari tee , kemudian memukul bola itu secara sembarang dan mampu mencapai hole in one , itu baru benar-benar menakjubkan, karena sasaran yang dituju bola telah dikhususkan sebelumnya.
Dari trilyunan cara berbeda untuk menyusun atom-atom dari sebuah teleskop, hanya suatu minoritas yang benar-benar akan berfungsi dalam suatu cara yang berguna. Hanya suatu minoritas kecil yang akan mengukir kata Carl Zeiss di atas lensanya, atau kata-kata apapun yang bisa dikenali dari bahasa manusia manapun. Hal yang sama juga berlaku untuk bagian-bagian dari sebuah arloji: dari milyaran cara yang mungkin untuk menyusun elemen-elemen itu menjadi satu, hanya suatu minoritas kecil yang akan menunjukkan waktu atau melakukan apapun yang berguna. Dan tentu saja hal yang sama berlaku, secara a fortiori, untuk bagian-bagian sebuah badan yang hidup. Dari trilyunan cara untuk menyusun bagian-bagian dari sebuah badan, hanya minoritas sangat kecil yang akan hidup, mencari makanan dan ber-reproduksi. Benar bahwa memang ada banyak cara berbeda untuk hidup—setidaknya ada sepuluh juta cara berbeda bila kita menghitung jumlah spesies tersendiri yang hidup sekarang ini—tetapi, betapapun banyaknya cara yang mungkin untuk hidup, yang pasti ialah bahwa ada jauh lebih banyak cara untuk mati!
Kita bisa dengan aman menyimpulkan bahwa benda-benda hidup adalah milyaran kali terlalu rumit—secara statistik terlalu mustahil—untuk muncul ke keberadaan secara kebetulan belaka. Lantas, bagaimana benda-benda hidup itu muncul ke keberadaan? Jawabannya ialah, bahwa peluang memang masuk ke dalam cerita, tetapi bukan satu babak peluang yang tunggal, monolitik. Bukan itu, melainkan keseluruhan rangkaian langkah peluang yang kecil, masing-masingnya cukup kecil untuk menjadi produk yang bisa dipercaya dari pendahulunya, yang terjadi satu per satu secara berurutan. Langkah-langkah peluang yang kecil ini disebabkan oleh mutasi-mutasi genetik, perubahan-perubahan acak—sungguh merupakan kesalahan-kesalahan—dalam materi genetik. Hal-hal tersebut memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur jasmaniah yang kini ada. Sebagian besar dari perubahan-perubahan ini bersifat merugikan dan menggiring pada kematian. Suatu minoritas di antaranya berubah hingga mengalami penyempurnaan-penyempurnaan kecil, yang menggiring pada daya tahan hidup serta reproduksi yang meningkat. Dengan proses seleksi alam ini, perubahan-perubahan acak yang jadi menguntungkan itu pada akhirnya menyebar lewat spesies dan menjadi norma. Tahapan pun kemudian tersetel untuk perubahan kecil berikutnya dalam proses evolusioner. Setelah, katakanlah, seribuan dari perubahan-perubahan kecil dalam rangkaian ini, yang mana masing-masing perubahan menyediakan basis bagi perubahan berikutnya, maka hasil akhirnya telah jadi—lewat sebuah proses akumulasi—terlalu kompleks untuk bisa muncul dalam sebuah babak peluang yang tunggal.
Sebagai contoh, secara teoritis adalah mungkin bagi sebuah mata untuk muncul ke keberadaan—dalam satu langkah tunggal yang beruntung—dari kondisi semula yang tidak ada apa-apa: katakanlah hanya dari kulit saja. Ini secara teoritis mungkin dalam arti bahwa, sebuah formula bisa saja dituliskan dalam bentuk sejumlah besar mutasi. Apabila semua mutasi ini terjadi secara serentak, maka sungguh sebuah mata yang sempurna bisa muncul dari kondisi semula yang tidak ada apa-apa. Tetapi, meski secara teoritis mungkin, namun hal ini dalam prakteknya tak terbayangkan. Kuantitas faktor keberuntungan yang terlibat terlalu besar. Formula yang “tepat” melibatkan perubahan-perubahan dalam sejumlah sangat besar gen-gen secara serentak. Formula yang tepat adalah satu kombinasi tertentu perubahan-perubahan dari trilyunan kombinasi peluang yang setara kemungkinannya. Kita tentu saja bisa tidak mengakui kebetulan yang ajaib seperti itu. Akan tetapi, sangat masuk akal bahwa mata moderen bisajadi terwujud dari sesuatu yang hampir sama dengan mata moderen, namun tidak persis sama: sebuah mata yang sedikit sekali kurang-terperincinya [dibandingkan mata moderen]. Dengan argumen yang sama, mata yang sedikit sekali kurang-terperincinya ini juga terwujud dari sebuah mata sebelumnya yang sedikit sekali kurang-terperincinya, dan begitu seterusnya. Jika anda mengasumsikan suatu jumlah yang cukup besar dari perbedaan-perbedaan yang cukup kecil di antara masing-masing tahap evolusioner dan pendahulunya, maka anda—mau tidak mau—harus mengakui bahwa sebuah mata moderen yang sempurna bisa berasal dari kulit melulu. Ada berapa banyak tahap-antara yang bisa kita dalilkan? Itu tergantung pada berapa panjang rentang waktu yang harus kita bahas. Apakah ada cukup banyak waktu bagi mata untuk berevolusi dengan langkah-langkah kecil dari kondisi semula yang tidak ada apa-apa?
Fosil-fosil menunjukkan kepada kita bahwa kehidupan telah dan sedang berevolusi di bumi ini selama lebih dari 3.000 juta tahun. Nyaris mustahil bagi pikiran manusia untuk menjangkau panjangnya rentang waktu seperti itu. Kita, secara alami dan untungnya memang seperti ini, cenderung melihat masa hidup kita yang kita harapkan sendiri sebagai suatu masa yang cukup panjang, tetapi kita jelas tidak bisa berharap untuk hidup sampai satu abad. Kini telah 2.000 tahun berlalu sejak masa Yesus hidup — suatu rentang waktu yang cukup panjang untuk mengaburkan garis pemisah antara sejarah dan mitos. Bisakah anda membayangkan satu juta periode waktu seperti itu sejak pangkal hingga ujungnya? Misalkan kita ingin menulis keseluruhan sejarah di atas sebuah gulungan kertas tunggal yang panjang. Jika kita menjejalkan seluruh sejarah Common Era dalam gulungan kertas sepanjang satu meter, berapa panjang bagian pra-Common Era di gulungan itu? Lalu masa permulaan evolusi, berapa panjang? Jawabannya ialah, bahwa bagian pra-Common Era di gulungan itu akan membentang dari Milan ke Moskow. Pikirkanlah implikasi-implikasi dari hal ini terhadap kuantitas perubahan evolusioner yang bisa diakomodir. Semua keturunan domestik anjing—peking, pudel, spaniel, Saint Bernard dan chihuahua—berasal dari srigala dalam suatu rentang waktu yang diukur dalam ratusan atau paling banter ribuan tahun: tak lebih dari dua meter sepanjang jalan dari Milan ke Moskow. Pikirkanlah kuantitas perubahan yang terlibat dalam proses beranjak dari seekor srigala menjadi seekor anjing peking; kemudian kalikan kuantitas itu dengan satu juta. Kalau anda memandangnya seperti itu, maka mudahlah untuk mempercayai bahwa sebuah mata bisajadi telah berevolusi dari tidak ada mata, dengan tingkat-tingkat yang kecil.
Tetaplah saja perlu kiranya memuaskan rasa ingin tahu kita bahwa setiap orang di masa-masa antara dalam jalur evolusioner, katakanlah dari hanya kulit menjadi sebuah mata moderen, telah diuntungkan oleh seleksi alam; bisajadi berupa suatu penyempurnaan dari pendahulunya dalam deretan itu, atau, setidaknya, bentuk yang mampu bertahan. Tidaklah baik kiranya berupaya membuktikan kepada diri kita bahwa, secara teoritis ada sebuah mata rantai dari masa-masa antara yang nyaris jelas, yang menggiring pada sebuah mata, jika banyak dari masa-masa antara itu bisa saja telah mati. Kadang-kadang ada yang berargumen bahwa bagian-bagian dari sebuah mata harus ada lengkap semuanya, atau, jika tidak, maka mata itu samasekali tidak bisa berfungsi. Sebelah mata, lanjut argumen itu, tidaklah lebih baik daripada tidak ada mata samasekali. Anda tidak bisa terbang hanya dengan sebelah sayap; anda tidak bisa mendengar hanya dengan sebelah telinga. Karenanya, tak mungkin ada serangkaian masa-antara setahap demi setahap yang menggiring pada terwujudnya sebuah mata, sayap ataupun telinga moderen.
Tipe argumen seperti ini begitu naifnya, hingga orang hanya bisa penasaran dalam dorongan bawah-sadar untuk mempercayainya. Jelas tidaklah benar bahwa sebelah mata itu tidak berguna. Para penderita katarak, yang lensa-lensa matanya telah diangkat lewat operasi, tidak bisa melihat dengan baik tanpa kacamata, tapi nasib mereka jauh lebih baik ketimbang orang yang tidak punya mata samasekali. Tanpa sebuah lensa, anda tidak bisa memfokuskan penglihatan pada suatu sosok yang detil, namun anda bisa menghindar untuk tidak menabrak rintangan-rintangan dan bisa mendeteksi bayangan sesosok predator yang sedang melintas.
Adapun argumen bahwa anda tidak bisa terbang dengan hanya sebelah sayap, ini disangkal oleh sejumlah besar hewan peluncur yang sangat sukses, termasuk mamalia dari banyak jenis berbeda, kadal, katak, ular dan cumi-cumi. Banyak jenis berbeda dari hewan penghuni pohon memiliki kepak kulit di antara sendi-sendinya yang betul-betul merupakan sayap fraksional. Jika anda terjatuh dari sebuah pohon, maka kepak kulit atau bagian datar dari tubuh yang meningkatkan luas daerah permukaan anda bisa menyelamatkan nyawa anda. Dan, betapapun kecil atau besarnya kepak anda, pasti akan selalu ada ketinggian kritis sedemikian rupa hingga jika anda terjatuh dari sebuah pohon dengan ketinggian seperti itu, maka nyawa anda akan terselamatkan hanya dengan daerah permukaan yang sedikit lebih luas. Lalu, ketika anak-keturunan anda telah meng-evolusi-kan daerah permukaan tambahan itu, maka nyawa mereka akan terselamatkan hanya oleh sedikit perluasan daerah permukaan lagi apabila mereka terjatuh dari pohon yang agak lebih tinggi. Dan begitu seterusnya, lewat langkah-langkah bertahap yang tak terbayangkan sampai ratusan generasi berikutnya, kita sampai pada sayap yang lengkap (sempurna).
Mata dan sayap tidak bisa muncul ke keberadaan dengan sebuah langkah tunggal. Itu akan sama saja dengan tak terhingganya keberuntungan untuk bisa memutar kombinasi angka yang membuka sebuah lemari besi besar di bank. Tetapi jika anda memutar angka-angka kunci secara acak, dan setiap kali anda tiba sedikit lebih mendekati angka keberuntungan itu, celah pintu pun terbuka sedikit demi sedikit, maka anda akan segera mendapati pintu lemari besi itu terbuka! Secara esensial, itulah rahasia bagaimana evolusi oleh seleksi alam bisa mencapai apa yang dahulu nampak mustahil. Hal-hal yang secara masuk akal tidak mungkin berasal dari para pendahulu yang sangat berbeda, bisa secara masuk akal berasal dari pendahulu-pendahulu yang hanya sedikit berbeda. Jika saja ada serangkaian cukup panjang pendahulu-pendahulu yang hanya sedikit berbeda seperti itu, maka anda bisa menelusuri asal apapun dari apapun lainnya.
Lantas, evolusi secara teoritis mampu melakukan pekerjaan yang, pada suatu ketika dahulu, nampaknya hanya merupakan kewenangan mutlak Tuhan. Akan tetapi, apakah ada bukti bahwa evolusi benar-benar telah terjadi? Jawabannya adalah ya; buktinya sangat berlimpah. Jutaan fosil ditemukan di tempat-tempat serta kedalaman-kedalaman persis seperti yang kita perkirakan apabila evolusi benar telah terjadi. Tak ada satupun fosil pernah ditemukan di tempat yang mana teori evolusi tidak memperkirakannya, meski hal ini bisa saja dengan sangat mudah terjadi: sebuah fosil mamalia di bebatuan karang yang begitu tuanya sampai-sampai ikan pun belum tiba, misalnya, sudah cukup untuk menggugurkan teori evolusi.
Pola-pola persebaran hewan dan tumbuhan hidup di benua-benua dan kepulauan-kepulauan dunia adalah tepat seperti yang diperkirakan apabila mereka berevolusi dari nenek moyang yang sama dengan tingkat-tingkat yang lambat dan perlahan. Pola-pola kemiripan di kalangan hewan dan tumbuhan adalah tepat seperti yang kita perkirakan apabila beberapa diantaranya merupakan kerabat dekat, dan beberapa lainnya merupakan kerabat jauh satu sama lain. Fakta bahwa kode genetik adalah sama pada semua mahluk hidup, sungguh menunjukkan bahwa semuanya diturunkan dari satu nenek moyang tunggal. Bukti untuk evolusi begitu kuat, sehingga satu-satunya cara untuk menyelamatkan teori penciptaan adalah dengan mengasumsikan bahwa Tuhan telah dengan sengaja menanamkan sejumlah besar bukti untuk membuatnya nampak seolah-olah evolusi telah terjadi. Dengan kata lain, fosil-fosil, persebaran geografis hewan, dan sebagainya, semua itu adalah satu trik keyakinan yang maha besar. Apakah orang mau menyembah suatu Tuhan yang mampu memainkan trik seperti itu? Tentu saja jauh lebih terhormat, juga secara ilmiah jauh lebih masuk akal, bila kita menerima segala bukti yang ada. Semua mahluk hidup adalah kerabat dari satu sama lain, dan diturunkan dari satu nenek moyang jauh yang hidup lebih dari 3.000 juta tahun yang lalu.
Dengan demikian, Argumen berdasarkan Bentuk-Rancang pun gugur sebagai sebuah alasan untuk mempercayai adanya suatu Tuhan. Adakah argumen lainnya? Beberapa orang percaya akan Tuhan dikarenakan apa yang nampak bagi mereka sebagai pewahyuan yang bersifat pribadi. Wahyu-wahyu seperti itu tidak selalu mendatangkan manfaat, tapi tak ragu lagi terasa nyata bagi individu yang meyakininya. Banyak penghuni rumah sakit jiwa yang memiliki keyakinan pribadi yang tak tergoyahkan bahwa dirinya adalah Napoleon, atau bahkan Tuhan itu sendiri. Tak ragu lagi bahwa keyakinan seperti itu punya kekuatan sangat dahsyat bagi mereka yang memilikinya, namun ini bukanlah alasan bagi orang-orang lain di antara kita untuk mempercayainya. Sesungguhnya, karena kepercayaan-kepercayaan seperti itu bertentangan satu sama lain, maka kita tidak bisa mempercayainya sama sekali.
Ada sedikit lagi yang perlu disampaikan disini. Evolusi melalui seleksi alam menjelaskan banyak hal, namun evolusi ini tidak bisa mulai terjadi dari kondisi semula yang tidak ada apa-apa. Evolusi tidak bisa mulai sampai ada semacam reproduksi dan hereditas elementer. Hereditas moderen didasarkan atas kode DNA, yang ini sendiri terlalu rumit untuk muncul secara spontan ke keberadaan lewat sebuah aktivitas tunggal yang bersifat kebetulan. Nampaknya ini berarti bahwa pasti telah ada suatu sistem hereditas terdahulu—kini telah sirna—yang pada waktu itu cukup sederhana untuk muncul secara kebetulan, dan hukum-hukum kimia yang menyediakan medium di mana suatu bentuk primitif seleksi alam kumulatif bisa mulai berlangsung. DNA adalah produk berikutnya dari seleksi kumulatif yang terdahulu ini. Sebelum sebentuk seleksi alam awal ini, ada suatu periode ketika campuran-campuran kimiawi yang kompleks tersusun dari campuran-campuran yang lebih sederhana, dan sebelum itu ada suatu periode ketika unsur-unsur kimiawi tersusun dari unsur-unsur yang lebih sederhana, mengikuti hukum-hukum fisika yang secara umum sudah sangat dipahami. Sebelum itu, pada akhirnya segala sesuatu tersusun dari hidrogen murni sebagai akibat segera dari dentuman besar, yang telah memulakan alam semesta.
Ada godaan untuk berargumen bahwa, meski Tuhan mungkin tidak diperlukan untuk menjelaskan evolusi tatanan kompleks yang mana alam semesta—dengan hukum-hukum fisikanya yang fundamental—suatu ketika dulu telah mulai, namun kita memerlukan suatu Tuhan untuk menjelaskan asal-usul segala sesuatu. Ide ini tidaklah menghasilkan Tuhan dengan banyak hal yang dilakukan-Nya: hanya menyetel dentuman besar, kemudian duduk santai menunggu segalanya terjadi. Ahli kimia fisikal, Peter Atkins, dalam bukunya yang ditulis dengan indah, Penciptaan, mendalilkan adanya suatu Tuhan pemalas yang berupaya keras untuk melakukan sesedikit mungkin kerja agar bisa memulakan segala sesuatu. Atkins menjelaskan bagaimana setiap langkah dalam sejarah alam semesta merupakan lanjutan—dengan hukum fisika yang sederhana—dari langkah pendahulunya. Maka, Atkins pun mengupas jumlah kerja yang akan perlu dilakukan si pencipta yang malas ini, dan akhirnya menyimpulkan bahwa si pencipta ini pada kenyataannya tidak perlu melakukan apa-apa samasekali!
Detil-detil fase awal alam semesta merupakan bagian dari dunia ilmu fisika, sedangkan saya adalah seorang ahli biologi, lebih memusatkan perhatian pada fase-fase berikutnya dari evolusi kompleksitas. Bagi saya, poin pentingnya ialah bahwa, kendatipun ahli fisika perlu mendalilkan suatu titik minimum yang tak bisa dibagi lagi, yang harus hadir pada permulaan agar alam semesta bisa mulai, namun titik minimum itu tentu saja sangat sederhana. Secara pengertian dasar (definisi), penjelasan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang sederhana adalah lebih masuk akal serta lebih memuaskan ketimbang penjelasan yang harus mendalilkan permulaan-permulaan yang kompleks dan secara statistik tidak mungkin. Dan anda tidak bisa mendapatkan yang jauh lebih kompleks selain suatu Tuhan Yang Maha Kuasa!
Richard Dawkins adalah seorang profesor di Universitas Oxford untuk kajian Pemahaman Publik tentang Sains. Dia adalah penulis buku Si Buta Pembuat Arloji (sebagian dari artikel ini didasarkan atas isi buku tersebut) dan Mendaki Puncak yang Mustahil. Dia adalah editor senior pada jurnal Free Inquiry.
Karya-karya Dawkins antara lain adalah “The Blind Watchmaker” dan “The Selfish Gene” (yang merupakan bestseller internasional yang diterbitkan dalam 13 bahasa). Dalam bidang evolusioner biologi, Dawkins merupakan ilmuwan yang diakui telah memberikan sumbangan besar dalam biologi sosial- pada telaah-telaah yang berkaitan dengan teori genetis mengenai seleksi alam (natural selection). Dawkins juga dikenal sebagai “tokoh” yang memberikan sumbangan signifikan dalam wacana sains/agama – dalam tulisan-tulisan populernya, acara-acara televisi dan debat-debat. Selain itu, Dawkins merupakan salah satu kontributor tetap pada Free Inquiry, buletin yang diterbitkan oleh Secular Humanism (www.secularhumanism.org/), sebuah organisasi yang memperjuangkan sekularisme.
Webmaster@SecularHumanism.org
Langganan:
Postingan (Atom)